Senin, 17 November 2008

Pengakuan

Pengakuan

Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy,
penulis besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan
mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih
ia berkata, "Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak bawa uang."

Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab,
"Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara.
Ini pemberian yang sangat besar bagi saya."

Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar:
ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.

Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih
beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang
hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori
Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan
dalam bekerja.

Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang
membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan
pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal,
ini bisa sesederhana pujian yang tulus.

Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah.

Jauh lebih mudah mengritik orang lain.

Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi
saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu
buruk." "Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?" saya balik bertanya.
"Karena Anda sama sekali tak pernah memujinya!"

Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain?

Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara
kita memandang orang lain.

Pertama, kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah
unconditional love, tetapi cinta bersyarat. Kita mencintai pasangan kita
karena ia mengikuti kemauan kita, kita mencintai anak-anak kita karena
mereka berprestasi di sekolah, kita mengasihi bawahan kita karena mereka
memenuhi target pekerjaan yang telah ditetapkan.

Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau
syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang
tulus seperti pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre.
Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta
yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.

Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatNya
tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun Anda
mengingkari nikmatNya, Dia tetap memberikan kepada Anda. Lihatlah bagaimana
Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak
peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi
manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positif orang lain. Ini
bisa memudahkan Anda memberi pujian.

Kesalahan kedua, kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita
mengenai seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik. Ia berkata,
"Tunjukkan pada saya barang paling unik dari semua yang ada di sini!"
Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk,
tengkorak, burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan
berkata, "Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah
saya sendiri!"

Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering
menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain.
Padahal, dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha
mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita akan
mudah sekali memberi pujian.

Kesalahan ketiga  disebut paradigm paralysis. Kita sering gagal melihat
orang lain secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang
kita buat sendiri mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering
mengotak-ngotakkan orang. Kita menempatkan mereka dalam label-label: orang
ini membosankan, orang itu menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau
menang sendiri. Inilah persoalannya: kita gagal melihat setiap orang sebagai
manusia yang "segar dan baru". Padahal, pasangan, anak, kawan, dan bawahan
kita yang sekarang bukanlah mereka yang kita lihat kemarin. Mereka berubah
dan senantiasa baru dan segar setiap saat.

Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun
berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi -- bahasa Jakarta).
Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap
tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka. Maka, di hadapan kita mereka
telah kehilangan daya tariknya.

Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya pun menyindir saya dengan mengatakan
bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum
menikah dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini,
tentu, membuat saya tersipu-sipu dan benar-benar mati kutu.

Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Saya telah
mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang
saya jumpai: istri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi, bawahan di
kantor, resepsionis di kantor klien, tukang parkir, satpam, penjaga toko
maupun petugas di jalan tol.

Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih
saya dengan doa, "Hati-hati di jalan Pak!" Orang-orang yang saya jumpai juga
senantiasa memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya mereka terbebas
dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.

Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat
orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, membuat orang merasa
dimanusiakan.

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Indonesia dan konsultan di
Dunamis-Franklincovey Indonesia

Oleh: Arvan Pardiansyah

Tidak ada komentar: