Selasa, 18 November 2008

Matematika Cinta

Matematika Cinta
Oleh: Gede Prama

Entah cerita ini benar atau tidak, dan saya tidak bisa mempertanggungjawabkannya, pada sebuah kelas pendidikan pemberantasan buta huruf yang diisi berbagai macam orang dewasa dengan beragam latar belakang di sebuah pojokan kota Jakarta, pernah terjadi sebuah dialog menarik. Ketika guru bertanya satu tambah satu sama dengan berapa, jawaban siswanya amat beragam.

Yang pertama langsung menjawab adalah murid dari Batak, dengan jawaban jelas dan tegas : dua! Murid-murid asli Jawa yang terkenal santun dan luwes, setelah mengerutkan dahi tanda serius dan menghargai gurunya, mereka sepakat menjawab : bisa tiga kurang satu, bisa juga empat dikurangi dua. Sahabat dari Sunda juga menjawab sopan : kumaha Bapa Wae.
Dan yang memperoleh perhatian paling banyak adalah jawaban rekan dari Padang. Mereka menyebut bahwa satu tambah satu sama dengan tiga. Ketika ditanya balik alasannya, serempak mereka menjawab : kalau satu tambah satu sama dengan dua, artinya pulang modal. Jadi, mesti ada untung sekurang-kurangnya satu!

Itulah matematika realita yang penuh dinamika. Bukan matematika ala sekolahan yang membuat semuanya serba steril, serta kurang dinamika. Dan Andapun bebas memilih matematika yang mana, entah matematika realita, atau matematika sekolahan. Tidak ada pilihan yang selalu lebih baik, selalu tepat, apa lagi selalu benar. Semuanya senantiasa dibingkai keterbatasan seperti ruang dan waktu.

Serupa dengan matematika realita tadi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kalau boleh jujur sebenarnya juga penuh dinamika. Ada juga yang mensterilkan iptek, namun sebagai sebuah kendaraan kehidupan, sulit diingkari kalau manusia tidak saja mengelola iptek, tetapi iptek juga mengelola kita manusia. Seperti berada dalam lingkaran dialektis yang tidak mengenal henti, demikianlah nasib manusia dan iptek. Studi-studi bagaimana manusia mempengaruhi iptek ada segudang. Sayangnya, studi-studi sebaliknya, bagaimana teknologi juga sedang membuat manusia secara meyakinkan, hanya tersedia dalam bentuk
terbatas. Dalam keadaan demikian, bisa dimaklumi kalau sering kali kita hanya bisa terkejut, terbengong-bengong tidak mengerti kenapa kita bisa sampai di sini.

Sebut saja teknologi SMS sebagai sebuah contoh, hampir seluruh interaksi manusia - bahkan sampai ke orang desa yang mengenal HP - berubah karena teknologi terakhir. Rapat melalui SMS, bukankah tidak terbayangkan sebelumnya? Revolusi menjatuhkan sebuah rezim di Pilipina juga bersenjatakan SMS. Bahkan orang selingkuhpun sekarang banyak menggunakan SMS. Kalau logis tidaknya sebuah perkembangan dicarikan basis legitimasinya di masa lalu (baca: empirical basis sebagai
satu-satunya basis logika manusia modern) maka tentu saja teknologi SMS ini tidak logis. Namun seberapa tidak logispun dia, tetap sedang menghadirkan perubahan revolusioner.

Dalam cahaya kejernihan seperti ini, mungkin sudah saatnya memikirkan konstruksi iptek yang hanya berdiri di atas fundamen-fundamen empirik semata. Ada fundamen lain yang juga layak untuk direnungkan kembali. Dalam proses pencaharian fundamen-fundamen lain ini, tiba-tiba saja saya dan sebagian publik dihentakkan oleh kisah film Beautiful Mind
yang memperoleh delapan academy award - kalau tidak salah.

Film ini memang berkisah tentang seorang matematikawan brilian yang bernama John Nash. Demikian cintanya ia akan matematika, sampai-sampai kehidupan sosialnya terbengkalaikan. Dan jadilah ia manusia yang aneh dalam ukuran kebanyakan orang. Teorinya yang disebut governing dynamics memang menghebohkan dan amat berpengaruh. Tetapi sebagaimana karya besar yang kerap juga menuntut harga besar, hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan John Nash.

Ia mengalami kehidupan yang amat berbeda dengan orang kebanyakan. Bahkan terpaksa harus dibawa ke rumah sakit gangguan jiwa. Bertahun-tahun harus mengalami perawatan yang membuat keluarganya demikian menderita. Penyembuhannyapun melalui pengorbanan keluarga dan kerabat dekat yang biayanya tidak kecil. Namun, cerita ini berakhir
mengagumkan. John Nash memperoleh hadiah nobel karena teori governing dynamics-nya. Dan dalam pidatonya yang mengagumkan, ia menyebut kalimat yang kurang lebih berbunyi begini: "Di luar realita fisika dan metafisika, ada keseimbangan misterius cinta."

Ya sekali lagi, keseimbangan misterius cinta, istilah asli John Nash adalah the mysterious balance of love. Saya mencoba menyebutnya dengan matematika cinta. Agak berbeda dengan banyak orang yang menyebut cinta sebatas dalam ruangan perasaan, ada ruangan cinta lain yang terlupakan : cinta juga sebuah kekuatan. Cinta istri John Nash adalah kekuatan besar
yang ada di balik hidupnya yang mengagumkan.

Contoh lain yang kerap saya pakai adalah sejarah India. Di tahun 1940-an salah satu tentara terkuat di dunia ketika itu adalah tentara Inggris. Namun, kendatipun memiliki jumlah tentara besar lengkap dengan persenjataannya yang juga besar, tentara Inggris harus ditarik mundur karena kekuatan cinta seorang manusia kurus kering, berbaju seadanya yang bernama Mahatma Gandhi. Ibu Theresa juga serupa, kendati setiap hari bergelut dengan orang-orang yang berpenyakit kusta, tidak pernah terdengar kalau beliau tertular penyakit yang sama.

Ini menghadirkan pemahaman, cinta juga meningkatkan kekebalan tubuh. Buku Bernie Siegel (seorang dokter ahli bedah asli Amerika) dengan judul Love, Medicine and Miracle bercerita banyak sekali di ruangan cinta sebagai kekuatan. Sekaligus memberikan basis logika yang cukup meyakinkan. Dan masih ada lagi bukti lainnya.

Aswin Wiryadi - seorang sahabat dekat yang menjadi direktur BCA - suatu hari mengirimkan SMS yang berbunyi begini. Pria pintar bertemu wanita pintar, kemungkinan hasilnya adalah romantika. Pria pintar bertemu wanita bodoh, hasilnya adalah selingkuh. Pria bodoh bertemu wanita pintar, ujung-ujungnya adalah pernikahan. Pria goblok bertemu wanita goblok, apa lagi akhir ceritanya kalau bukan kehamilan?

Saya tidak tahu suasana psikologis Pak Aswin ketika mengirimkan SMS ini ke saya. Apakah ia sedang merangkai matematika cinta, atau ia sedang melucu, atau sedang menceritakan pengalamannya sendiri, sampai hari ini saya tidak pernah melakukan konfirmasi. Dan Andapun boleh menyimpulkan bebas, apakah matematika cinta yang menjadi judul tulisan ini ada kaitannya dengan SMS tadi, atau SMS tadi hanya mengada-ada, atau tulisan ini yang diada-adakan. Yang jelas, seorang sahabat dekat menyimpulkannya dengan sebuah senyuman : ada-ada saja!


Tidak ada komentar: