Rabu, 30 Mei 2012

NEK

NÊK
(Sebuah Percikan Permenungan)

Hari Senin (12 Maret 2012), saya menyaksikan film dengan judul Caligula atau
nama lengkapnya: Gaius Iulius Caesar Germanicus Caligula (12 – 41 M). Dari
awal hingga akhir, kebrutalan Caligula membuat bulu kudukku mrinding.
Tindak-tanduknya tidak terduga dan tidak bisa dimengerti oleh akal sehat
manusia. Melihat film tersebut, saya merasa nêk, jijik dan muak. Karena
nêk itulah, perut saya mual dan bahkan hampir muntah-muntah.

Ternyata mual-mual tidak hanya berlaku bagi orang yang sedang mabuk karena
naik: kapal (laut), kendaraan (darat ) maupun pesawat (udara). Saya jadi
ingat iklan obat anti mabuk: antimo. "Antimo obat anti mabuk. Mabuk darat
lautan udara." Dari lagu itu pun kita bisa melawan bahwa rasa mual juga
bisa diterapkan jika seseorang berelasi dengan orang lain.

Jika kita mendengar keluhan seseorang satu kali – mungkin – masalah cuaca
udara yang gerah, maka kita bisa maklum dan mengerti bahkan bisa solider.
Tetapi jika keluhan itu datang bertubi-tubi, maka orang yang mendengarnya
akan nêk. William Shakespeare (1564 – 1616) pernah menulis dalam dramanya,
"keluhannya datang tidak datang satu per satu seperti mata-mata, melainkan
secara bersamaan bagaikan satu batalion." Kemudian saya berpikir,
"Bagaimana rasanya jika seseorang kedatangan tentara berjumlah satu batalion
(800 – 1000 orang)?" Tentu orang menjadi lelah secara fisik dan metal. Dalam
buku yang berjudul "Si Penghisap Energi" karangan Shaun Blankeney dan
Wallace Hanley – telahh diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia – membahas
bagaimana orang-orang yang suka mengeluh itu akan membuat energi kita
terserap. Saya boleh bertanya, "Siapa yang tidak merasa nêk jika
mendengar orang yang mengeluh dan mengeluh saja?"

Kita juga akan berasa nêk menyaksikan orang-orang yang sombong, suka makan
puji (orang yang suka dipuja dan dipuji), munafik dan penjilat. Ada dongeng
anak-anak yang terdapat dalam relief Candi Mendut. Candi Mendut merupakan
Candi Buddha yang dibangun oleh Raja Indra dari Wangsa Syailendra (± abad
VII M). Di candi itu ada kisah tentang kura-kura yang ingin terbang. Kedua
burung bangau merasa iba akan keinginannya. Maka kedua burung bangau itu
pun memagut ranting dan kura-kura pun menggigit ranting tersebut dan
diterbangkan oleh kedua bangau itu. Namun sebelum "terbang", kura-kura sudah
diwanti-wanti supaya tidak berbicara atau menanggapi orang atau makhluk
lain.

Kini kura-kura bisa "terbang" dan anak-anak yang sedang menggembalakan sapi
itu mulai kaget dan berkata, "Wah kura-kura itu luar biasa, bisa terbang
tinggi." Betapa senangnya si kura-kura, karena puja dan puji yang
dilontarkan kepadanya. Tidak pelak lagi, kura-kura itu pun berbicara karena
pujian itu dan akhirnya jatuhlah ia. Ia tewas!

Kita merasa nêk, ketika melihat seseorang – apalagi orang tersebut adalah
boss – yang makan puji, apalagi kita tahu potensi dan kompetensinya yang di
bawah standar. Setelah tukang makan puji itu mengakhiri kata sambutan
atau khotbahnya, tidak lama kemudian para penjilat mulai mendekat dan
berbisik, "Sambutan yang mulia, sunggauh luar biasa dan tidak ada duanya!"
Biasanya ketika seorang pemimpin berbicara dan – meskipun tidak lucu – para
bawahannya akan tertawa. Para bawahannya akan mengangguk-angguk, meskipun
mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh pemimpin. Bagi para penjilat,
orang yang suka makan puji itu bagaikan makanan empuk, tetapi bikin nêk
bagi orang berpikiran lurus.

Ini kisah lain lagi. Ada seorang gadis yang suka obral janji. Ia menjanjikan
akan memberi daster etnik kepada sahabat dekatnya. Sang sahabat tentunya
amat senang. Tetapi ditungggu-tunggu, ternyata "hadiah" itu pun tidak
kunjung datang. Dia juga pernah menjanjikan kepada orang lain untuk membantu
korban kelaparan bagi orang miskin Yang bikin gemas lagi yaitu bahwa gadis
itu tidak merasa berjanji. Anand Krishna dalam Jangka Jayabaya menulis,
"Ratu ora netepi janji, musna panguwasane" yang berarti: raja ingkar
janji, hilang wibawanya. Bila janji-janji itu tidak ditepati rakyat berhak
menuntut. Sayangnya sumpah jabatan terkesan tinggal sebuah upacara pelengkap
dan sudah kehilangan esensinya. Sumpah jabatan seakan sudah selesai begitu
diucapkan dan praktik sama sekali lain. Menghadapi orang yang suka janji
kita menjadi nêk.

Akhirnya kita pun berasa nêk kepada orang-orang yang suka memoles diri.
Zaman sekarang ini semua hal bisa dipoles. Rumah, perabotan rumah bahkan
wajah pun dipoles. Dalam bukunya yang berjudul, Selamat Berbakti, Andar
Ismail menulis, "Ada masker untuk menghaluskan keriput. Ada faundation
untuk mendempul lubang kulit. Ada rouce untuk membuat pipi menjadi medok.
Ada eye shadow untuk membikin mata jadi belo. Pokoknya dari rambut di kepala
sampai kuku di kaki, semuanya bisa dipoles." Bahasa pun bisa dipoles.
Isilah-istilah diperhalus supaya terdengar bagus. Gelandangan diganti dengan
tuna wisma. Penjara diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan dan kelaparan
menurut orang-orang yang terhormat di DPR dikatakan sebagai rawan pangan.
Orang miskin dikatakan sebagai keluarga pra-sejahtera dan ketika BBM akan
naik, maka pemerintah akan berkata, "harga disesuaikan!" Tidak mampu
memerbaiki kenyataan, maka yang dapat dilakukan cuma memoles kenyataan.
Kita juga sudah nêk dengan kata-kata yang diucapakan oleh orang-orang di
atas sono. Mereka sudah tersangka, namun selalu berkata, "Kita ikuti proses
hukum yang berlaku" atau katanya, "Kalau saya mengoropsi uang Rp. 1,- saja,
saya siap untuk ditembak atau digantung di Monas" Nêk, nêk, nêk, nêk,
nêk, nêk, nêk, nêk, nêk!

Hari ini, (19 Maret 2012) adalah Hari Raya St. Yosuf, suami Maria . Ia
dikatakan si lurus hati. "Yusuf, suaminya yang lurus hati, tidak mau
mempermalukan Maria (Mat 1: 19). Saya merenungkan makna si tulus hati.
Dalam bahasa Inggris, "sincere" (tulus hati, bersungguh-sungguh). kata itu
ternyata berasal dari bahasa Latin: sine yang artinya tanpa dan cere yang
artinya lilin. Orang-orang Yunani – kalau kita pernah melihat film seri
Hercules atau Xena – dan ketika Hercules membeli sebuah patung dari
kayu, maka sang penjual berkata, "Patung Dewa Zeus – yang sebenarnya
ayahnya sendiri – tanpa lilin (sine dan cere), tanpa tambalan lilin sama
sekali, semua asli ukiran dan tanpa polesan apa-apa. Orang yang lurus
hati, seperti Yusuf, tidak akan membuat hati kita nêk.

Hari Sabtu, (17 Maret 2012), saya mendapatkan e-mail dari temanku sendiri
secara japri (jalur pribadi). Isinya demikian, "Marlon akhiri saja
tulisan-tulisanmu itu, koq saya menjadi nêk membacanya. Kamu kutip sana dan
kutip sini, kurang gawean. Saya pun sehari bisa menulis 10 artikel seperti
yang kamu buat. Hanya saja saya tidak mau!"

Benar juga apa yang dikatakan teman saya tadi. Dalam misa Hari Raya St.
Yusuf tadi pagi, saya doakan supaya temanku itu tidak nêk lagi. Saya
sungguh merasa berdosa. Maka, saya akan kurangi tulisan-tulisan saya sebelum
berhenti. Nanti suatu saat kalau teman saya tidak merasa nêk lagi saya akan
menulis lagi, mungkin sehari bisa 10 artikel atau mungkin bahkan lebih.
Wallahualam bissawab!

Skolastikat MSC, 19 Maret 2012
Biara Hati Kudus
Jl. Raya Pineleng , KM. 9 PINELENG
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: