Selasa, 01 Mei 2012

CURHAT

CURHAT
(Sebuah Percikan Permenungan)

Pertengahan Mei 2011, saya menempuh perjalanan Jakarta – Manado dengan
pesawat Lion. Kami duduk bersebelahan dengan seorang bapak yang tidak saya
kenal sama sekali. Dalam perjalanan, bapak itu bercerita tentang dirinya dan
pengalamannya. Dalam berbicara kadang-kadang senang, tetapi tiba-tiba penuh
emosi dan akhirnya menunduk sedih. Setelah pesawat landing, bapak itu pun
berkata kepada saya, "Adik, terima kasih ya! Dengan curhat, hati saya sudah
menjadi lega dan plong rasanya. Sekali lagi terima kasih!"

Dalam hidup bermasyarakat, komunikasi dengan orang lain merupakan –
condition sine qua non – syarat mutlak. Dipacu nafsu menemukan bahasa
perdana manusia, Kaiser Friderich II (1194 – 1250) melakukan eksperimen
eksentrik. Dua bayi yang baru lahir diasingkan dari rangsangan bahasa. Tidak
seorang pun diperbolehkan berbicara dengan mereka. Percakapan di lingkup
mereka dilarang keras. Kaiser berasumsi, didorong kebutuhan kemunikatif,
keduanya otomatis akan berbicara bahasa asli manusia dari zaman sebelum
petaka menara Babel, biarpun tak ada stimulus linguistis. Walau kondisi
fisik bugar, mereka akhirnya meninggal akibat kebisuan. Eksperimen gagal
total dan dibayar mahal. Bagi manusia, berbahasa bukanlah sekedar media
komunikasi, tetapi setara makanan, minuman di samping kebutuhan biologis dan
sosial (Kompas 8 November 2011).

Pada dasarnya, setiap orang memiliki beban dan berharap bahwa akan menjadi
ringan. Perjumpaan-perjumpaan dengan orang lain bisa meringankannya. Beban
pikiran itu yang seringkali membuat hidup kita menjadi kesuh. Setelah
pikiran-pikiran itu dicurahkan, sepertinya bahu menjadi ringan dan bisa
tegak kembali. Abdoel Moeis (1883 – 1959) dalam Salah Asuhan, mengisahkan
kedua wanita: mertua dan menantu yang sangat akrab – kedekatan ini mungkin
jarang terjadi – antara ibu Hanafi dan Rapiah. Mereka berdua memiliki beban
yang sama, yakni sikap dan kehidupan Hanafi. Namun dengan saling mencurahkan
isi hatinya, mereka bisa bertahan menghadapi situasi yang demikian. Kita
jadi teringat Dewa Atlas dalam mitologi Yunani. Atlas digambarkan sebagai
dewa yang memikul bumi ini di bahunya. Ia tidak memiliki kesempatan untuk
meletakkan bumi itu, sebab jika sedetik saja Atlas meletakkan bumi, maka
akan menimbulkan bencana. Betapa berat beban Atlas, yang melakukan
tugas-pekerjaannya dan tidak pernah bisa membagikannya kepada yang lain.
Arif Mansur Makmur dalam Tesaurus plus, menerangkan bahwa curhat memiliki
arti untuk meringankan (upload dan unburden) permasalahannya kepada yang
lain. To upload his troubles on someone, mencurahkan
permasalahan-permasalahannya kepada seseorang. Dalam arti ini, curhat pun
dialami oleh para santo maupun santa. Wilfrid McGreal dalam Yohanes Salib,
menuliskan bagaimana ketika Yohanes Salib (1542 – 1591) mengalami
kegelapan, ia mencurahkan isi hatinya kepada Teresa Avila (1515 - 1582).
Demikian pula sebaliknya. Cum amico amara et dulcia communicate velim, yang
berarti: aku menginginkan agar membagikan segala sesuatu dengan sahabat,
baik yang pahit maupun yang manis (baik dalam suka maupun duka).

Kadang ada juga orang yang tidak bisa mengungkapkan beban hatinya. Pernah
suatu kali saya mengadakan retret agung di Rumah Retret Roncalli – Salatiga.
Selama retret gaya ignatian ini, saya tidak diperkenankan berbicara dengan
orang lain silentium magnum, kecuali dengan pembimbing rohani.
Gejolak-gejolak hati dan pengalaman buram masa lampau yang akan saya
ungkapkan itu tidak terungkap. Kemudian pada suatu kesempatan, saya diajak
ke Candi Gedong Songo – Ambarawa. Di tempat ketinggian itu, saya
mencurahkan isi hati: berteriak-teriak keras, mengungkapkan apa yang
mengganjal di hati. Dan memang sungguh benar. Curhat diartikan sebagai
self-disclosure, pengungkapan diri yang dilakukan seseorang dengan tujuan
supaya hatinya menjadi ringan. Retret bisa berjalan dengan lancar, sebab
ada keterbukaan dari pihakku yakni orang yang dibimbing. Selain
berteriak-teriak, ada juga orang yang menuliskan uneg-uneg-nya dalam buku
Diary. Diary bagaikan teman dekatnya yang mampu menerima curahan hati sampai
sedalam-dalamnya bahkan ke sudut yang paling rahasia. Anne Frank (1929 –
1945) – yang memiliki nama kecil: Annelies Maria Frank – dalam The Diary
of Anne Frank, melukiskan sebuah pengalaman batin seorang gadis Yahudi
dalam masa kejahatan Nazi. Dia bisa bertahan hidup dalam kebengisan, salah
satu pengalamannya itu ia curahkan dalam bentuk tulisan. Bimbo pernah
melantunkan lagu dengan judul Tuhan dan ini menjadi lagu religius yang
indah. Dalam arti ini, tidak salahlah bahwa seseorang bisa mengaduh kepada
Tuhan. Peng-aduh-an kepada Tuhan inilah yang kita pandang sebagai curhat.

Seorang yang duduk di pucuk pimpinan adalah orang yang kesepian. Dia adalah
orang yang mengambil keputusan untuk perusahaan, lembaga, yayasan yang
dikelolanya. Karena itulah, bawahannya tidak ada yang berani mendekat,
kecuali para penjilat yang biasa memuji-muji dengan maksud mendapatkan
posisi empuk. Pepatah Latin yang berbunyi, "Animo magis quam corpore aegri
sunt" yang berati: mereka yang berkuasa itu lebih banyak terkena sakit
jiwa daripada sakit badan – kalau kita renungkan – ada benarnya juga.
Setelah selesai tugas di kantor yang penuh dengan formalitas, seorang
pemimpin ingin mencurahkan isi hatinya kepada orang lain. Ia ingin
berbincang-bincang tentang hal-hal yang sepele, sambil minum secangkir teh
dengan koleganya dan tertawa-tawa, meskipun tidak ada yang lucu. Kita jadi
ingat akan Alm. Suharto yang memiliki senyum khas ketika menerima tamu
dengan cangkir di tangannya. H.C. Andersen (1805 - 1875) dalam Pakaian Baru
Kaisar, telah membuktikan bahwa para asisten kaisar itu hanya bisa
mengatakan "ya" terhadap kaisar, sehingga ketika sang kaisar tidak
menggunakan pakaian (telanjang), mereka takut untuk memberitahu. Dewa
tertinggi, Zeus yang tinggal di puncak gunung Olimpus pun kadang-kadang pada
waktu senggangnya suka untuk bercengkrama dengan rakyat jelata. Zeus dan
dewa-dewa lain suka mengunjungi bangsa Hiperboria – sebuah bangsa yang
bebas dari penyakit dan penuh kebahagiaan ini – sebab di tempat itu Zeus
merasa mendapat sambutan penuh keramahtamahan. Tidak heranlah bahwa dewa
tertinggi itu pun menikahi manusia-manusia biasa, yang pada gilirannya
melahirkan manusia setengah dewa yaitu Herkules. Dewa itu berbagi cerita dan
berbagi cinta dengan manusia.

Selang beberapa lama, saya marah, kecewa dan jengkel kepada seseorang.
Dalam hati saya mau ketemu dia untuk "mencurahkan hati" dengan marah-marah
supaya merasa plong. Akhirnya muncul ide. Rasa jengkel, kecewa dan marah
itu saya tulis dalam bentuk surat. Setelah selesai saya tulis, surat itu
kumasukkan dalam amplop, dengan prangko secukupnya dan alamat lengkap,
kemudian saya masukkan dalam laci.

Setelah dua hari surat itu ngendon di laci, saya buka surat itu dan saya
baca. Aduh! Betapa mengerikan isi surat itu. Penuh kemarahan dan – maaf –
agak kasar. Saya bersyukur sebab sebelum ketemu orang yang akan menjadi
sasaran kemarahan, curhat terlebih dahulu kepada sahabatku: kertas surat.
Surat curhat itu pun tidak jadi saya kirim via pos, meskipun jarak orang
yang akan saya kirimi surat itu sepelemparan batu saja jauhnya. Memang
benar kata-kata Ignatius Loyola, (1491 – 1556) "Di saat mengalami desolatio
kita jangan mengambil keputusan." Oh curhat, curhat !! Ada-ada saja kau
ini.

Skolastikat MSC, 05 Desember 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: