ADUH!!!
(Sebuah Percikan Permenungan)
Awal Januari 2012, saya menyempatkan diri pasiar (jalan-jalan) ke kota
Ambon. Sampai di Biara MSC, Pater Wim Zomer (1938 –2012) yang memiliki motto
hidup non recuso laborem , artinya: aku tidak pernah menolak pekerjaan –
berkata, "Kalau belum makan rujak di pantai Natsepa, berarti Marlon belum
melihat kota Ambon."
Siang itu, sengaja saya hendak membuktikan sedapnya rujak pantai Natsepa.
Memang benar adanya, rasanya enak, khas dan sadap (sedap) sekali. Pantai
penuh sesak dengan orang berenang di pantai dan banyak juga yang menikmati
rujak di gazebo-gazebo. Para penikmat rujak itu begitu menjiwai nikmatnya
rujak dan setiap kali menelan satu sendok, dia berkata, "Aduh, enak sekali!"
Trus saya juga tidak mau kalah, "Aduh, enak tenan!"
Rasa aduh di sini merupakan ungkapan kekaguman atas rasa yang enak dan
mungkin tiada tara rasanya, sehingga tidak ada kata yang muncul selain kata
itu. Namun ternyata rasa nikmat dan suara-suara aduh itu pun mulai
berkurang. Setelah orang makan lagi dua porsi rujak, maka suara aduh itu pun
hampir tidak terdengar lagi. Mungkin kita jadi ingat akan prinsip ekonomi
yang berbicara tentang hukum Gossen. Hermann Heinrich Gossen ( 1810 – 1858),
seorang ahli ekonomi dari Jerman mengatakan bahwa tingkat kepuasan seseorang
dilihat dari kenikmatannya. Bungkusan rujak pertama, terasa enak dan
memunculkan kata, "Aduh". Bungkusan rujak kedua, orang sudah merasa agak
kenyang, sehingga tidak ada kata yang terucap dan bungkusan rujak ketiga
sudah menjadi kenyang sehingga yang muncul adalah, "Aduh, pedes sekali,
perut mules terlalu kenyang!"
Kemudian, setelah menikmati rujak dan melihat pemandangan alam pantai
Natsepa yang indah, saya melanjutkan perjalanan ke desa Waai. Di desa Waai
ini ada sumber air panas untuk pemandian. Panasnya air itu hampir sama
dengan yang ada di Tataaran – Tondano, Wale Pepetaupan – Sonder, Karumenga –
Langowan, Kinali – Kawangkoan dan Ranopaso – Tondano Barat, (Minahasa –
Sulawesi Utara) maupun di pemandian air panas Guci di kaki Gunung Slamet –
Kabupaten Tegal (Jawa Tengah). Ketika pertama kali mencelupkan kaki dan
mencebur di kolam air panas itu, saya berteriak, "Aduh nikmat sekali !"
tetapi entah karena apa tiba-tiba kakiku menginjak bekas kaca dan saya pun
berteriak, "Aduh, sakit sekali kakiku luka!" Dalam waktu hampir bersamaan,
ke-aduh-anku itu memiliki makna ganda: nikmat dan sakit.
Belum lama ini, saya ingin sekali membuat tattoo di lengan sebelah kiri, di
Triple A Tattoo Studio – Jl. Ch. Taulu – Manado. Bagaikan pasien yang
sedang menunggu giliran diperiksa, saya pun duduk di ruang tunggu. Di ruang
praktek, ada seorang nyong-nyong, yang sedang di-tattoo punggungnya. Pemuda
ini minta digambarkan seekor singa. Tukan tattoo mulai menusuk-nusuk
punggung pemuda itu. Tetapi pemuda itu berteriak, "Aduh sakit, bapak sedang
melukis apa?" Dengan tenang tukang tattoo itu berkata, "Saya sedang
melukis hidung singa." Pemuda itu pun berteriak, "Tidak usah dilukis saja
itu hidung singa. Lukis yang lain saja!" Kemudian, sang tukang lukis mulai
menusuk-nusuk punggung pemuda tersebut. Pemuda itu pun berteriak lagi,
"Aduh, sakit sekali, bapak sedang melukis apa?" tukang tattoo itu pun
berkata, "Saya sedang melukis telinga dan dan kaki singa." Kemudian, pemuda
itu pun berkata, "Biarkanlah singa ini tanpa telinga dan kaki, dari pada
saya mengaduh terus karena kesakitan."
Pada akhirnya, pemuda itu pun tidak pernah mendapatkan lukisan tattoo di
punggungnya dan tukang tattoo pun tidak pernah menyelesaikan gambar singa.
Terkadang, orang menolak rasa sakit dengan mengeluh, "Aduh!" Selama masih
hidup di dunia ini, orang tentu berharap bahwa penyakit dan penderitaan
hinggap pada dirinya.
Ungkapan bahasa Latin, proh dolor! yang berarti wahai derita! mirip-mirip
dengan ungkapan "aduh". Namun ungkapan "aduh" di sini memiliki makna
dolorosus yang berarti: berduka-cita, duka-nestapa dan sedih. Jika
mendengar kata dolorosus, perasaan saya langsung teringat akan prosesi di
Larantuka pada hari Paskah tahun 2011. Perarakan patung Bunda Maria mater
dolorosa atau "Tuan Ma" mengelilingi kota Larantuka. Wajah Bunda Maria
nampak sedih. Kemudian setiap perhentian atau stasi, seorang gadis cilik
berperan sebagai Veronika membawakan lagu ratapan dalam bahasa Latin yang
disebut dengan oves omnes. Lagu yang memilukan. Mendengar ratapan itu, saya
hampir menitikkan air mata dan mengaduh. Saya sedih dan mengaduh ketika
merenungkan Yesus yang akan disalibkan dan berjalan menuju puncak Golgota.
Itulah via dolorosa, jalan penderitaan.
Kata aduh biasanya juga muncul bersamaan dengan desahan. Orang mendesah
karena lelah, orang mendesah karena merasa tidak puas dengan situasi. Luo
Guan Zhong dalam Sam Kok atau The Romance of Three Kingdom, melukiskan
sebuah desahan yang diucapkan oleh Liu Bang, "Heh, aduh pengumuman apa lagi
ini!" Rasa kesal bercampur dengan tidak puas akan menimbulkan desahan
bahkan keluhan. Apa yang dikeluhkan Liu Bang ini berarti dirinya tidak
menerima apa yang ada saat itu dan secara tidak sadar akan membawa-bawa
beban negatif dalam pikirannya. Dari ketidakpuasan itu maka ketiga orang
ksatria saling menyalahkan dan berkelahi. Namun pada akhirnya para kstaria
itu bersumpah di bawah pohon persik dan berjanji untuk menegakkan
kebenaran. Daripada mengeluh dan mendesah serta mengaduh, lebih baik
berbuat.
Membaca kisah Sam Kok, saya berniat untuk hidup seperti Liu Bang yang
luar biasa. Keluhan yang diucapkan Liu Bang ini memacu dirinya untuk
membentuk paguyuban tiga pendekar yang berhasil membasmi kebatilan.
Mengaduh, mendesah, berkeluh kesah itu tidak ada artinya sama sekali.
Tiga jam berkutat di depan laptop memang merupakan pekerjaan yang
membosankan. Selain punggung sakit karena duduk terus, mata juga mulai
berat. Dan tidak saya sadari desahan pun muncul dari bibirku, "Aduh, capek
dech!!!.
Skolastikat MSC, 23 Januari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361
Markus Marlon msc
Minggu, 13 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar