Selasa, 14 Desember 2010

Paradoks kekayaan

Paradoks Kekayaan
Oleh: Eko Supriyatno

Richard Branson pendiri Virgin berucap: "sejujurnya saya katakan, saya
tidak pernah terjun dalam bisnis untuk menghasilkan uang. Kalau itu
satu-satunya motif Anda, saya rasa Anda lebih baik tidak melakukan
apa-apa".
Bagi Branson uang hanyalah soal angka. Ini tidak berarti ia menafikan
eksistensi uang. Uang hanyalah alat mencapai tujuan. Buatnya dalam bekerja
yang terpenting bagaimana ia melakukan penggalian makna hidup atau uang.

Ray Kroc Bos MC Donalds (1902 - 1984) menyatakan bahwa jika anda bekerja
hanya untuk uang. Anda takan pernah sukses, Tetapi jika Anda mencintai apa
yang Anda kerjakan dan selalu mengutamakan kepentingan pelanggan,
kesuksesan akan Anda di tangan Anda. Ingatlah, bahwa masyarakat adalah
pelanggan Anda. Berbagi pada pelanggan adalah solusi.

Hamilton berulang kali menyatakan bahwa semakin banyak uang yang anda
miliki, semakin besar kemungkinan anda akan kehilangan uang itu. Hamilton
menyebutkan bahwa kekayaan bukanlah soal seberapa banyak uang yang anda
miliki. Kekayaan adalah apa yang masih Anda miliki bila anda telah
kehilangan semua.

Kehilangan uang bukanlah masalah bila anda tidak memilikinya sama sekali,
tetapi saat anda memiliki kelebihan penghasilan, banyak kesempatan baru
yang muncul. Sungguh menggoda untuk membelanjakannya atau
menginvestasikannya di bidang yang belum pernah anda lakukan sebelumnya dan
di bidang yang hanya sedikit anda ketahui kelemahannya di masa depan.
Kepercayaan diri anda jauh melebihi kompetensi anda dan uangnyapun hilang.

Trump pernah membangun bisnis propertinya pada tahun 1980-an dimana
sebagian besar usahanya dibangun dengan utang yang jumlahnya sangat besar.
Ketika pasar berubah di tahun 1990. Ia tidak lagi mampu membayar bunganya.
Sehingga ia memiliki utang perusahaan sebesar $3,5 juta dan sebesar $900
juta utang pribadi. Berarti Anda sekitar $900 juta lebih kaya daripada
Trump pada tahun 1990. Kendati demikian Trump membali situasi itu dan tahun
2005 ia memperoleh net profit sebesar $2,7 milliar dan masuk dalam daftar
400 orang terkaya di AMerika versi majalah Forbes.

Setelah menyelami falsafah bekerja, saya harap Anda menyimpulkan, dunia
kerja yang kita bicarakan ini, demikian agung. Bekerja, not just for money.
Bekerja, dalam konteks bahasan kita, demikian memerdekakan kita mempersepsi
dan mendekonstruksinya kembali sesuai perkembangan kemapanan spiritual
kita. Spiritual? Kita mau bicara "bekerja" atau mau "mengaji". Dua-duanya,
atau kalau kita bawa satu urusan, otomatis urusan lainnya terbawa serta.
Karena - sebagai penegasan di bagian sebelumnya - saya tempatkan bekerja
itu sebagai ibadah.

Keyakinan konvensional tentang zona nyaman, terlalu ajeg dipersepsikan,
sehingga seolah-olah di luar itu, bukan zona nyaman. Ketika digali lebih
dalam, dalam, dan kian dalam sampai ke dasarnya, nyata, tak terjumpai
kenyamanan yang disebutkan sebagai tema zona kerja itu. Kenyamanan, tidak
dibangun semata-mata oleh tantangan "duniawi" manusia, melainkan juga oleh
sebuah keinginan mendalam menghubungkan semua perbuatan, jauh, jauh ke
lubuk hati kita sebagai niat ibadah tadi.

Dengan memperdalam penggalian kita akan makna kenyamanan, sampai tersua
kenyamanan sejati, kita menjadi maklum, adanya kenyamanan semu dan
menepisnya agar tak terjebak untuk menggilainya, mempertahankannya
mati-matian, lebih-lebih, sampai kita benar-benar mati. Jangan, jangan
habiskan umur anda untuk memeluk kenyamanan bekerja di zona nyaman yang
semu.

Salah seorang anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana
korupsi. Kemudian dinyatakan bersalah dan dimasukkan dalam bui. Apakah
nyaman. Seorang pebisnis besar melakukan kongkalikong dengan penguasa,
kemudian ia tertangkap. Apakah ia merasa nyaman.

Kalaulah kekayaan itu memang membuat nyaman mengapa kekayaan seseorang
justru membuat banyak orang iri padanya. Mengapa sering terjadi banyak
pembunuhan karena kekayaan. Membuat adik Willy "Bud" pemenang lotere
dipenjara, karena mengincar harta kakaknya. Betulkah itu zona nyaman?

Lalu bagaimana dong? Tidak bolehkah kita menjadi kaya? Tentu boleh, bahkan
sangat dianjurkan. Bukankah agama mengajarkan bahwa kemiskinan cenderung
pada kekufuran. Yang menjadi pangkal adalah bagaimana kita
mendistribusikannya dengan benar. Bukankah sebaik-baik manusia adalah orang
yang bermanfaat bagi banyak orang.

*) Penulis adalah Master Terapi Bisnis, Kolumnis dan Trainer berbagai
pelatihan. Alumni "Cara Cerdas Menulis Buku Best-Seller" Batch IX. Alumnus
PPM. Email: eko_supriyatno2007@yahoo.co.id atau eko@terapibisnis.com
Website: www.terapibisnis.com

Tidak ada komentar: