Pemimpin baru membawa atau membentuk tim kerja yang baru. Galibnya begitu.
Sebab salah satu tugas awal seorang pemimpin adalah melakukan perekrutan
untuk memastikan bahwa posisi-posisi penting ditempati oleh orang yang
tepat. Mengisi posisi-posisi penting secara serampangan bisa berakibat
fatal. Risiko untuk berhasil perlu diperbesar dengan memastikan
posisi-posisi penting diisi oleh orang yang tepat.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono memilih berpasangan dengan Jusuf Kalla
dalam pemilihan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres)
Republik Indonesia secara langsung tahun 2004 silam, tidak banyak yang
optimis bahwa mereka akan menang. Namun, makin dekat dengan waktu pemilihan
umum, popularitas mereka makin mantap, dan akhirnya mereka benar-benar
memenangkan pemilihan umum yang bersejarah itu.
Lalu, ketika pemilihan langsung Capres dan Cawapres Republik Indonesia
periode 2009-2014 akan berlangsung, banyak pihak menjagokan duet incumbent
SBY-JK yang dinilai cukup ideal untuk dipertahankan. Ternyata, dengan modal
suara Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilihan umum legislatif,
SBY punya pendirian tersendiri dan memilih untuk menggandeng Boediono
sebagai Cawapres. Berbagai spekulasi kembali merebak, tetapi masyarakat
luas agaknya memang masih pro-SBY.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana dengan formasi anggota kabinet
pemerintah periode 2009-2014? Akankah SBY-Boediono berani memberikan porsi
cukup besar kepada kaum teknokrat dan profesional untuk mengisi kursi
departemen strategis? Akankah posisi menteri yang memimpin departemen
teknis diserahkan kepada orang-orang partai pendukungnya? Apapun pilihan
SBY-Boediono, stabilitas dan instabilitas pemerintahannya akan juga
ditentukan oleh penempatan orang-orang didalam kabinet tersebut.
Dalam konteks mikro, para pemimpin perusahaannya juga mengalami hal yang
senada seirama. Jika pemilik perusahaan berganti, maka boleh jadi sebuah
tim eksekutif baru perlu segera dibentuk menggantikan yang lama. Dan jika
pemimpin baru menawarkan visi perubahan untuk meningkatkan kinerja
perusahaan, maka umumnya ia akan memastikan lebih dulu bahwa posisi-posisi
strategis dipegang oleh orang-orang yang sejalan dengan dirinya.
Terkadang, untuk menyelamatkan muka sejumlah orang, struktur organisasi
diubah untuk memberikan tempat kepada orang-orang baru, tanpa harus
menyingkirkan orang-orang lama; setidaknya untuk sementara waktu.
Selanjutnya, jika orang-orang sudah direkrut dan ditempatkan, bagaimana
seorang pemimpin dapat tahu bahwa ia telah memilih orang yang tepat untuk
tiap posisi strategis? Indikator apa saja yang bisa dipergunakan untuk
menjawab soal "tepat dan tidak tepat" ini?
Tidak ada jawaban yang definitif dan mutlak. Namun, studi Jim Collins,
dalam karya terbarunya bertajuk How The Mighty Fall: And Why Some Companies
Never Give In (2009), mungkin dapat dijadikan rujukan awal.
Menurut Collins, yang sebelumnya kondang sebagai pengarang buku Good to
Great: Why Some Companies Make the Leap..and Others Don't (2001),
sedikitnya ada enam sifat penting yang menunjukkan bahwa suatu posisi
penting sudah ditempati oleh "orang yang tepat".
Pertama, orang yang tepat cocok dengan nilai-nilai inti perusahaan.
Perusahaan-perusahaan yang hebat membangun budaya dimana mereka yang tidak
memiliki nilai-nilai institusi yang sama dikelilingi antibodi dan ditolak
seperti virus. Orang bertanya: Bagaimana caranya agar orang memiliki nilai
inti yang sama?" Jawabnya: rekrut orang yang sudah memiliki kecenderungan
ke arah itu-dan pertahankan mereka.
Kedua, orang yang tepat tidak perlu diatur dengan ketat. Ketika Anda merasa
perlu mengatur seseorang dengan ketat, Anda mungkin telah melakukan
kesalahan rekrutmen. Anda tak perlu menghabiskan banyak waktu "memotivasi"
dan "mengatur" orang yang tepat. Dalam diri mereka sudah tertanam konsep
bahwa mereka akan mati-matian produktif, termotivasi sendiri, mampu
mendisiplin diri, dan sangat terpacu untuk unggul dibanding yang lain.
Ketiga, orang tepat mengerti bahwa mereka tidak punya "pekerjaan"-tapi
tanggung jawab. Mereka paham perbedaan antara daftar tugas dan tanggung
jawab mereka yang sesungguhnya. Orang yang tepat bisa berkata, "Saya
satu-satunya orang yang memanggul tanggung jawab final untuk .".
Keempat, orang yang tepat memenuhi komitmen mereka. Dalam sebuah kultur
disiplin, orang menganggap komitmen sebagai sesuatu yang sakral-mereka
melakukan apa yang mereka katakan akan mereka lakukan, tanpa mengeluh. Sama
halnya, ini berarti mereka sangat berhati-hati dalam mengatakan apa yang
akan mereka lakukan, berhati-hari untuk tidak pernah over-committed atau
menjanjikan sesuatu yang tidak bisa mereka penuhi.
Kelima, orang yang tepat antusias dengan perusahaan dan pekerjaan
perusahaan. Mereka menunjukkan intensitas antusiasme yang luar biasa.
Keenam, orang yang tepat menunjukkan kematangan jendela-dan-cermin. Ketika
sesuatu berjalan lancar, orang yang tepat menunjuk keluar jendela, memuji
faktor-faktor selain diri sendiri. Mereka menyoroti pihak-pihak lain yang
memberikan kontribusi. Namun, ketika segala sesuatu berjalan tidak
sebagaimana mestinya, mereka tidak menyalahkan situasi dan orang lain.
Mereka memandang ke cermin dan berkata, "Saya yang bertanggung jawab".
Jika para pemimpin dan eksekutif puncak organisasi belum memiliki perangkat
yang lebih baik untuk mengukur tepat tidaknya orang-orang yang
ditempatkannya pada posisi penting, maka keenam sifat penting yang
diusulkan Collins bisa dipergunakan untuk sementara. Namun lebih dari itu,
para pengamat dan konstituen pemimpin tertentu dapat menggunakan hal yang
sama untuk memberikan penilaian apakah pemimpin mereka (kita) sudah
menempatkan orang-orang yang tepat pada posisi-posisi strategis. Semoga.
*) ANDRIAS HAREFA; Penggagas Visi Indonesia 2045; Trainer Coach
Berpengalaman 20 Tahun; Penulis 35 Buku Best-seller; Beralamat di
www.andriasharefa.com dan aharefa@gmail.com. Artikel ini juga dimuat di
Bisnis Indonesia Minggu rubrik Spiritual Leadership Edisi 26 Juli 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar