(Sebuah Percikan Permenungan)
Pada abad 49 BC (Before Christ), sekelompok senator Romawi, yang bersekutu
dengan Pompey, mengkuatirkan kekuasaan Julius Caesar (100 - 44 BC) yang
semakin besar. Ketika Caesar mendengar rumor tersebut, sang Kaisar sedang
berada di Gaul Selatan (sekarang Prancis) dengan hanya berpasukan yang
berjumlah lima ribu orang. Tantangan tersebut bagaikan "uji nyali" bagi
dirinya. Dengan kata-katanya yang penuh motivasi, Julius Caesar berkata,
"Mari kita melintasi sungai Rubicon" untuk meraih masa depan kita. Memimpin
pasukan ke wilayah Italia berarti perang dengan Roma. Sekarang tidak lagi
jalan kembali. Berjuang atau mati. Caesar terpaksa mengonsentrasikan
kekuatannya serta tidak menyia-nyiakan satu orang pun, bertindak dengan
cepat dan bersikap sekreatif mungkin. Ia menyerbu Roma. Dengan mengambil
inisitif, ia menjadikan para senator ketakutan, memaksa Pompey melarikan
diri.
Istilah "melintasi sungai Rubicon" amat tepat untuk mengatasi rasa takut
dan kekerdilan hati dalam diri kita. Setiap hari tentu kita melewati
masa-masa yang tidak mengenakkan jiwa. Ada keraguan dalam hati jika
berhadapan dengan problema. Keraguan bagaikan penghalang intern yang
mempersulit diri kita untuk mencapai masa depan. Untuk mencapai keputusan
yang pelik tersebut, tentunya ada motivasi yang kuat. Tidak bisa
dibayangkan, jika rasa kuatir itu menguasai diri Sang Kaisar. Rasa takut
dan kuatir itu bagaikan melihat bayangannya sendiri ketika kena sinar
matahari pada pagi atau sore hari. Bayangan itu amat besar sekali. Demikian
pula, sering, apa yang kita kuatirkan itu amat besar dan ternyata apa yang
dikuatirkan tidak terjadi sama sekali. Selama "penantian" kehidupan menjadi
tidak nyaman, gelisah dan resah. Maka tak mengherankan jika dari pengalaman
rasa takut dan kuatir itu, Julius Caesar berujar, "Penakut mati
berkali-kali, sedangkan pahlawan hanya mati satu kali dalam hidupnya." Rasa
takut tersebut membuat orang tidak mudah untuk mengambil keputusan dengan
cepat. Ini pula yang sering terjadi dalam pertikaian para pandukung calon
pemegang kekuasaan.
Untuk memimpin sebuah bangsa yang besar, dibutuhkan seorang negarawan yang
memimpin bangsa yang berani, tegas, berwibawa dan "mumpuni". Pardi Suratno
dalam bukunya yang berjudul "Sang Pemimpin" menawarkan cara memimpin yang
mengayomi (melindungi) dan memberikan kesejahteran kepada rakyatnya. Ajaran
Asthabrata, Wulang Reh, Tripomo dan Dasa Darma Raja termaktub begitu banyak
hak dan kewajiban pemimpin. Hal ini amat berbeda dengan apa yang ditulis
oleh Nicholo Machiavelli (1469 - 1527) ataupun Sun Tzu, penulis strategi
perang. Oleh Anand Krishna dalam bukunya yang berjudul, "Gita of The
Management" dipaparkan gaya kepemimpinan Sun Tzu dengan Krishna dalam
"Bagawat Gita". Dalam ajaran tersebut, Arjuna harus "melintasi sungai
Rubicon." Arjuna mengalami keraguan yang luar biasa untuk berperang melawan
para Kurawa. Untuk membenarkan ketakutannya, dia membuat alasan-alasan yang
masuk akal dan "saleh". Inti dari wejangan Bagawat Gita tersebut adalah
bahwa melaksanakan dharma untuk memerangi kebatilan dalam masing-masing
jiwa. Tubuh kita ini bagaikan ajang pertempuran antara kebaikan dan
kejahatan yang tiada henti.
Kita dalam mengambil keputusan untuk melangkah ke hidup yang lebih baik,
sering mengalami kendala. Salah satu kendalanya adalah ketakutan untuk
"melintasi sungai Rubicon". William Shakespeare (1564 - 1616) dalam HAMLET
mengangkat istilah to be or not to be untuk mengambil keputusan yang sangat
genting. Situasi bathin yang dialami oleh Hamlet penuh dengan keragu-raguan
dan penuh kebimbangan. Dia salah mengambil keputusan dan ini berakibat
fatal, yakni kematian ayah tirinya. Thomas Aquinas menulis, "Timeo hominem
unius libri" (bahasa Latin), yang berarti aku bimbang terhadap orang yang
hanya membaca satu buku saja. Dalam menulis artikel ini, aku juga bimbang
dan ragu dengan diriku sendiri, karena yang kubaca hanya satu buku. Mohon
dimaafkan.
Merauke 21 Desember 2010
Markus Marlon MSC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar