Rabu, 15 Desember 2010

Miskin tapi bahagia

Miskin Tapi Bahagia

Orang termiskin yang aku ketahui adalah
orang yang tidak mempunyai apa-apa kecuali uang.
- John D. Rockefeller JR

Dalam rubrik Kilasan Kawat Sedunia, Harian KOMPAS pernah memuat ringkasan
hasil survei yang menarik perhatian saya. Ia menceritakan hubungan antara
uang-indikator utama yang sering dipergunakan untuk mengukur seberapa kaya
atau seberapa miskin seorang anak manusia itu-dengan kebahagiaan. Survei
yang unik dan jarang dilakukan ini-setahu saya belum pernah ada survei
semacam ini di Indonesia-mungkin dapat memberi pelajaran tertentu pada
kita. Berikut petikannya:

Pemeo "uang tak bisa membeli kebahagiaan" ternyata memang benar. Sebuah
survei di Australia menunjukkan, kaum kelas menengah di Sydney masuk
kategori warga yang paling menderita di Australia. Sebaliknya, tingkat
kebahagiaan warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman paling miskin
malah lebih tinggi.

"Pengaruh uang pada kebahagiaan nyatanya hanya terasa pada golongan yang
luar biasa kaya," kata Liz Eckerman, peneliti dari Universitas Deakin,
seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (13/2).

"Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ini jelas terbukti dalam jajak pendapat
yang kami lakukan pada 23.000 warga yang sudah kami wawancarai," kata
Eckerman kepada Radio Australia, ABC.

Temuan-temuan yang disusun sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa di Australia,
negara dimana tak ada kesenjangan kemakmuran yang ekstrem, mereka yang
hidup paling bahagia ada di lapisan bawah. Mereka yang happy juga lebih
banyak berada dalam kategori usia 55 tahun atau lebih, lebih banyak di
antara kaum perempuan, dan kebanyakan pula ada di antara mereka yang
menikah alias yang tak men-jomblo.

Survei ditujukan untuk mengungkap kepuasan seseorang terkait dengan
berbagai hal, seperti standar hidup, kesehatan, pencapaian dalam hidup, dan
keamanan. Di antara 150 daerah sasaran survei, salah satu daerah termiskin
di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman Queensland, penduduknya ternyata
termasuk yang paling bahagia di negeri kangguru itu.

Terus terang, saya tidak tahu seberapa banyak uang yang harus dimiliki
seseorang untuk bisa masuk dalam kategori kelas menengah di Sydney. Juga
tidak terlalu jelas bagi saya berapa jumlah uang yang dimiliki oleh
rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman Queensland, sehingga mereka
disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu, berapa pula harta yang
dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman sebagai "luar biasa kaya"?
Datanya tidak disebutkan oleh KOMPAS.

Namun, terlepas dari minimnya data yang bisa kita peroleh, tetaplah menarik
ketika Eckerman, peneliti itu, membuat kesimpulan bahwa yang hidup paling
bahagia di Australia adalah penduduk di lapisan bawah (miskin); kebanyakan
berusia 55 tahun atau lebih; kebanyakan perempuan; dan kebanyakan menikah.
Mereka inilah yang paling merasa puas dengan standar hidup mereka, puas
dengan kesehatan mereka, puas dengan pencapaian dalam hidup mereka, dan
puas dengan keamanan di lingkungannya. Mereka inilah orang-orang yang
miskin, tetapi kaya. Miskin dalam harta benda, tetapi kaya dalam kepuasan
hidup. Sungguh sebuah realitas yang memesona.

Ada beberapa pelajaran yang saya pulung dari survei di atas. Pertama, saya
menduga penelitian tersebut menempatkan rasa puas-atas standar hidup; atas
kesehatan; atas pencapaian dalam hidup; dan atas keamanan di
lingkungannya-sebagai indikator utama kebahagiaan. Dan jika hal itu kita
gunakan untuk bercermin, maka kita bisa mencoba menjawab empat pertanyaan
berikut:
1. Apakah saya puas dengan standar hidup kita sejauh ini?
2. Apakah saya puas dengan kesehatan saya sejauh ini?
3. Apakah saya puas dengan apa yang sudah saya capai dalam hidup sejauh
ini?
4. Apakah saya puas dengan keamanan di lingkungan saya sejauh ini?

Bisakah kita menjawab YA dengan mantap untuk keempat pertanyaan sederhana
semacam itu? Atau mungkin jawaban kita perlu diberi bobot tertentu,
katakanlah untuk tiap jawaban menggunakan skala 1-5. Angka 1 berarti TIDAK
PUAS SAMA SEKALI, angka 2 berarti TIDAK PUAS; angka 3 berarti CUKUP PUAS;
angka 4 berarti PUAS; dan angka 5 berarti SANGAT PUAS. Sehingga, total
nilai 12 berarti CUKUP PUAS dan total nilai 20 berarti SANGAT PUAS. Mereka
yang bisa mengumpulkan nilai mendekati angka 20-lah yang pantas kita anggap
bahagia. Nah, dengan demikian kita bisa mengukur seberapa bahagia diri kita
masing-masing, setidaknya untuk saat ini. Lalu kita juga bisa menyadari
pada bagian mana dari keempat hal tersebut yang kita rasa paling meresahkan
dan mengurangi kebahagiaan hidup kita sejauh ini. Dari sini kita kemudian
bisa memikirkan cara-cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan
kebahagiaan kita.

Pelajaran kedua yang saya petik adalah soal hubungan antara uang/kekayaan
dengan kebahagiaan. Sudah lama saya mengetahui bahwa uang dan kebahagiaan
adalah dua hal yang tidak selalu berkaitan. Setidaknya saya mengenal
sejumlah kawan yang punya uang miliaran rupiah dan kadang mengaku bahwa
hidupnya tidak bahagia. Sementara itu sejumlah kawan lain yang uangnya
tidak sampai miliaran tak pernah saya dengar mengeluhkan soal apakah
dirinya bahagia atau tidak. Jadi saya sering bingung jika melihat sebagian
kawan berjuang mati-matian untuk bisa kaya karena percaya kalau kekayaan
bisa membuat mereka pasti bahagia. Sementara yang sudah jauh lebih kaya,
mengaku tidak bahagia. Nah, atas kebingungan inilah survei Eckerman tadi
bisa memberi sedikit penjelasan. Hanya pada orang atau golongan yang "luar
biasa kaya", ada hubungan antara uang mereka dengan kebahagiaan mereka.
Seakan-akan ada semacam ambang batas kekayaan yang bisa membuat kekayaan
itu berdampak langsung pada kebahagiaan. Ambang batas itu tidak disebut,
mungkin satu juta dolar Amerika, atau jumlah yang lebih besar.

Pelajaran ketiga, dan buat saya paling mengesankan, adalah kesimpulan
survei tersebut yang menunjuk sebuah daerah termiskin di pedalaman
Queensland memiliki penduduk yang paling bahagia. Kesimpulan ini sungguh
membesarkan hati. Sebab ini membuka kemungkinan bahwa kawan-kawan saya di
pelosok-pelosok yang sulit terjangkau sarana transportasi modern-seperti di
Papua, misalnya-amat boleh jadi adalah orang-orang yang paling bahagia
hidupnya.

Nah, apakah Anda kaya atau Anda bahagia?

Andrias Harefa
Penulis 30 Buku Best-Seller dan Pendiri WRITERSCHOOL

Tidak ada komentar: