Rabu, 05 November 2008

Dilema sang ibu yang bekerja

Dilema sang ibu yang bekerja

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Sebutlah ibu Arni namanya, seorang wanita berpenampilan rapi yang selalu kelihatan sibuk dengan segala macam urusannya. Ia terlihat tidak bisa diam, ada saja selalu yang diurusnya. Telepon genggamnya dari tadi berbunyi; kesibukan ibu Arni sungguh tidak terlihat dibuat-buat. Akhirnya ia mendapatkan waktu juga untuk berbicara dengan saya.

"Maaf nih, dari tadi telepon saya bunyi terus yah. Ya beginilah, urusan kantor saya memang banyak, sampai beberapa kali saya ingkar janji dengan anak saya karena waktu itu saya ada deadline sehingga pulang larut malam", kata ibu Arni yang terlihat begitu salah tingkah. Terlihat ia sangat antusias dan gembira mengatakan dirinya sebagai seorang wanita yang sibuk, namun mukanya pun terlihat tidak nyaman dan tersirat rasa bersalah saat mengatakan bahwa ia harus ingkar janji dengan buah hatinya.

"Duh! Saya salah yah? Gimana ya, saya lupa diri terus kalau bekerja. Tapi gimana yah, saya sangat menyukai pekerjaan saya, tapi saya sadar sih, seharusnya saya lebih menyediakan waktu bagi anak saya", terdengar suara ibu Arni meneruskan kata-katanya terdahulu. Saya yang diajaknya bicara belum mengemukakan apa-apa, tapi tampaknya ibu Arni yang berparas manis ini seperti ingin mengakukan dosa-dosa yang dilakukan terhadap anaknya.

Curhat ibu Dina lain lagi, ia merasa sangat bersalah karena harus kembali bekerja lagi setelah mengambil 3 bulan cuti melahirkannya. "Saya merasa sangat tidak tenang meninggalkan anak saya. Saya sedih kalau mengingat bahwa kemungkinan bukan saya yang akan mendengarkan anak saya mengucapkan 'ma' pertama kali. Saya sering merasa cemburu dengan pengasuh saya karena dia justru bisa dekat dengan anak saya di rumah", nadanya terdengar sangat sedih. Saya dapat merasakan kekacauan hatinya.

Cerita ibu Rima berbeda lagi, ia harus mendapat surat peringatan dari perusahaan tempat bekerjanya karena ia terlalu sering memakai telepon perusahaan untuk menelpon pengasuh anaknya di rumah. Inilah dilema-dilema para ibu yang bekerja. Banyak di antara mereka yang bertanya kepada saya : "Salahkah saya bekerja dan meninggalkan anak-anak saya?"

Saya agak kurang setuju dengan pertanyaan ini, sebab kalau dijawab 'salah', maka perasaan sang ibu akan semakin tertekan, pekerjaannya semakin kacau dan anaknya pun semakin tidak nyaman memiliki ibu berhati kacau, tetapi kalau dijawab 'tidak salah', bisa jadi anak-anak akan tidak pernah merasakan sosok peran ibu yang normal di rumah. Yang sangat menular dan dapat dirasakan oleh anak adalah 'emosi'. Jika seorang ibu bekerja dengan gembira dan mampu membawa kegembiraannya ke rumah, maka emosi positif akan tertular pada anaknya. Masalahnya, untuk ibu yang 'doyan' kerja, ia hanya senang di tempat kerja, tetapi yang dibawa pulang hanyalah emosi kelelahan, tentu saja ini tidak baik dan tidak adil untuk anak.

Sementara untuk ibu yang terpaksa harus bekerja untuk memiliki double income dalam rumah tangga; juga sama kacaunya, di dalam pekerjaan ia tidak tenang, bertemu dengan anaknya pun terasa menjadi sangat berlebihan menumpahkan kasih sayang sebagai kompensasi rasa bersalahnya.

Di dunia ideal memang sebaiknya kaum ibu tinggal di rumah dan kaum bapak sajalah yang mencari nafkah, sehingga urusan rumah dan urusan mencari uang tidak tumpang tindih. Sayangnya permasalahannya tidaklah sederhana.

Jaman sekarang ini, bekerja bagi kaum wanita tidak melulu hanya untuk mencari uang, namun justru seringnya sebagai sarana aktualisasi diri berkarya dan berkreasi dan menambah luasnya wawasan.

Seorang ibu lain yang saya kenal mempunyai masalah lain lagi, saat ia telah memutuskan berhenti bekerja, ternyata anaknya merasa tertekan karena kehadiran sang ibu yang terlalu mendikte. Lalu, apa permasalahan yang sebenarnya? Yang terutama adalah kemampuan anda mengolah emosi. Para ibu yang sangat mencintai pekerjaannya, perlu menjaga kestabilan emosi anda untuk senang bekerja dan senang kembali ke rumah. Untuk ibu yang merasa 'terpaksa' bekerja, perlu juga menjaga kestabilan emosi untuk tetap bekerja dengan tenang dan mengatur emosi sedemikian rupa agar tidak terlalu meluap-luap di depan anak sehingga anak membaca anda sebagai ibu yang labil.

Tips untuk para ibu yang bekerja:

 - Siapkan mental anda bukan mental 'eight to five', tetapi lebih dari itu, 'eight to sleeping time'. Ingatlah bahwa setelah pekerjaan selesai, ada tugas mulia lain yang menunggu anda, yaitu berinteraksi dengan putra-putri yang rindu pada anda.

- Pulanglah dengan gembira, jika anda terlalu lelah, segeralah masuk ke dalam kamar dan tenangkan diri anda 10 hingga 15 menit; anda bisa merendam kaki dengan air panas, tiduran sebentar, namun, ingatlah bahwa putra-putri anda memerlukan anda, keluarlah dari kamar tidur dengan senyuman.

- Bawalah anak anda sesekali ke tempat kerja dan perlihatkanlah kesibukan anda. Anda bisa meminta anak anda membantu pekerjaan sederhana, seperti melipat amplop, menjepret kertas, dll; bila dilibatkan, anak bisa belajar mengerti kesibukan anda. Berikan pandangan positif dan gembira tentang pekerjaan anda, maka anak anda akan turut gembira juga mengetahui bahwa anda gembira melakukan pekerjaan anda.

Tidak seorangpun yang pernah memberikan

yang terbaik itu menyesalinya

= George Halas

Tidak ada komentar: