Minggu, 31 Agustus 2008

Profil Alumni Pika

Perbanyak Sekolah Kejuruan Bermutu
(Kompas, 30 April 2002)
Dok kompas/dirman thoha

SETIAP ditanya menyangkut soal cita-citanya, J Sujanto Basuki kecil selalu menjawab bahwa ia ingin menjadi insinyur mesin. Basuki kecil membayangkan suatu saat kelak ia bisa membuat beraneka macam mesin, apa saja, bahkan kalau mungkin membuat mesin pesawat terbang.

Cita-cita itu terus hidup dalam dirinya, terus ia pelihara, sampai suatu saat ketika Basuki berumur 11 tahun sang ayah tercinta meninggal. Perginya pilar utama keluarga itu membuat ekonomi mereka morat-marit. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini dihadapkan pada kenyataan pahit, yakni tertutupnya pintu untuk menggapai cita-citanya sebagai insinyur mesin. Sejak itu pula, cita-cita yang ia pupuk selama bertahun-tahun itu kandas sudah, tenggelam bersama kepergian sang ayah sebagai pilar sekaligus pondasi keluarga mereka.
 
Dengan kepergian sang ayah, keluarga mereka kini tak memiliki cukup uang guna menopang sekolah Basuki, di tiap jenjang pendidikan yang harus dilaluinya hingga ke tingkat universitas, sebelum harapan Basuki kecil untuk menjadi insinyur mesin bisa terwujud. Apalagi ia masih punya adik, sementara empat kakaknya juga membutuhkan biaya tak sedikit untuk sekolah. Tetapi bukan berarti semangat Basuki untuk ikut surut.

Seusai menamatkan pendidikan di tingkat SMP, saudara-saudara Basuki mendorongnya masuk Pendidikan Industri Kayu Atas (PIKA), sekolah kejuruan empat tahun di Kota Semarang. Alasan mereka sederhana, yakni agar seusai menamatkan pendidikan di sekolah ini cepat mendapat pekerjaan.
 
"Sebetulnya saya agak dibohongi oleh saudara-saudara saya. Mereka bilang, di sana nanti juga belajar goniometri, matematika, dan sebagainya. Pas saat itu PIKA membuka pendaftaran. Ya, saya masuk ke sana dan ikut tes, tetapi ditolak karena terlalu muda. Lalu saya dititipkan di Kebun Kayu (cikal bakal PIKA-Red). Saya menangis. Sebulan lamanya saya jalani 'sekolah' di Kebun Kayu. nDilalah, ada anak PIKA yang mengundurkan diri. Saat itu saya sedang menggergaji kayu. Br Wiederkehr SJ (Direktur PIKA saat itu-Red) datang dan bilang : 'Mau masuk ?' Sejak itu pula saya pindah ke PIKA," kata Basuki mengenang peristiwa puluhan tahun lalu itu, yang kelak di kemudian hari ikut mengubah jalan hidupnya.

Apa yang dipelajari di PIKA? Hari pertama, seperti juga teman-temannya yang lain, Basuki harus belajar menyerut kayu. Dalam hati ia bertanya-tanya, kok, tidak ada pelajaran goneo (metri), matematika, dan sebagainya? Tentu saja Basuki agak kecewa, tetapi melihat keadaan ekonomi keluarga di rumah yang morat-marit, ia mengaku terpacu juga untuk "ngebut" menyelesaikan pendidikan. Bahkan di saat libur Basuki tidak memanfaatkannya untuk bersenang-senang. Ia justru masuk ke perpustakaan, ikut menggambar, dan memperoleh penghasilan di sana karena kegiatannya itu dibayar.

"Selama empat tahun belajar di PIKA ternyata banyak membawa berkah. Sebelum selesai, saya sudah dipesan perusahaan Inggris, Louis T Leonowens. Perusahaan itu bergerak di bidang mesin-mesin kayu dan importir pengering kayu. Tetapi, karena lama tidak ada kelanjutannya, eee... perusahaan mebel Ligna malah memberi tawaran. Januari 1976 saya ke Cibinong. Di sana belum ada apa-apa dan harus membangun pabrik Ligna mulai dari bawah," demikian Basuki berkisah tentang masa-masa awal kariernya.

Basuki memang gagal mewujudkan cita-citanya semasa kecil untuk menjadi seorang insinyur mesin. Akan tetapi, kini ia justru menuai hasil sebagai seorang pengusaha permesinan yang justru memberi lapangan kerja bagi banyak orang, termasuk insinyur mesin. Setelah melalui berbagai bidang pekerjaan dengan gaji besar, tahun 1980 ia memutuskan menjadi tuan bagi diri sendiri dengan memulai usaha sendiri. Usaha pertama adalah menerima service pisau gergaji, lalu secara bertahap ia membuat pisau khusus untuk kayu, kemudian diikuti usaha mendesain mesin pengering kayu, disusul dengan usaha membuat mesin-mesin pengering lainnya untuk pabrik permen, cat mobil, obat-obatan, batik, pastiles, dan sebagainya.

"Karyawan saya sekarang ada 200 orang, 40 di antaranya adalah insinyur. Karena itu saya meyakini tidak rugi masuk sekolah kejuruan seperti PIKA. Banyak hal yang saya peroleh. Ada disiplin, dan ada kemauan yang terus mendorong saya untuk berbuat sesuatu," Sujanto Basuki. Kini ia adalah Presiden Direktur di tiga perusahaan yang ia miliki, yakni PT Basuki Pratama
Engineering, PT Rekaboiler Utama, dan PT Intertool Wahana.
***