Rabu, 13 Agustus 2008

Hidup Sejahtera Selamanya.

Hidup Sejahtera Selamanya
Gede Prama

Satu hal fundamental yang membedakan hidup di negara berkembang seperti
kita, dan hidup di negara welfare state adalah perhatian terhadap kaum tidak
punya. Perhatian mereka terhadap kesejahteraan rakyat amatlah besar. Oleh
karena itulah, maka banyak negara berlomba-lomba berpacu menuju welfare
state.

Tidak hanya negara, individu pun sangat banyak yang mengejar kesejahteraan.
Kerja keras, sekolah setinggi-tingginya, tekun dan loyal terhadap pekerjaan,
hanya sebagian saja dari usaha untuk mencapai kesejahteraan hidup. Demikian
penting kesejahteraan terakhir, sampai-sampai ada orang yang mau mencapainya
dengan segala cara.

Digabung menjadi satu, baik negara maupun individu, banyak yang teramat
rindu dengan kesejahteraan. Sayangnya, tidak sedikit orang yang masih
terjebak dengan perangkap 'umum' kesejahteraan. Kesejahteraan, dalam
perangkap terakhir, berhubungan amat dekat dengan gunungan materi yang kita
miliki. Namun, karena gunungan materi sering tidak mengenal kata cukup, maka
mengejar kesejahteraan kerap seperti mengejar cakrawala.

Dalam perspektif ini, saya berutang banyak pada Shakti Gawain - penulis buku
Creating True Prosperity. Penulis jernih dan produktif ini, di salah satu
bagian dari buku tadi menulis : 'Prosperity is an internal experience, not
an external state. It is an experience separate from having a certain amount
of money. While prosperity is related to money, it is not caused by money.
Dengan kata lain, kesejahteraan sebenarnya lebih terkait dengan pengalaman
internal. Sebuah pengalaman yang terpisah dari kepemilikan uang. Kesejahteraan memang berkaitan dengan uang, namun tidak disebabkan oleh uang.

Argumen terakhir, sebenarnya tidak orisinil, namun amat mendasar. Secara
lebih khusus dengan menyebut kesejahteraan sebagai pengalaman internal, dan
keterkaitan persisnya dengan uang. Dalam pengertian saya, ada dua hal yang
perlu dicermati dalam hal ini: pengalaman internal dan reposisi uang dalam
kehidupan.

Mari kita mulai dengan pengalaman internal. Sejak zaman Mahabrata sudah
diajarkan, bahwa badan kita sebenarnya ibarat lapangan peperangan.
Dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun, peperangan di dalam diri senantiasa
terjadi. Kadang stimulusnya datang dari luar, kerap datang dari dalam. Tidak
pernah ada tubuh manusia yang absen dan bersih dari peperangan. Ia bersifat
given. Bedanya, ada orang yang mengelola peperangan tadi, ada orang yang
dikelola oleh peperangan.

Berkaitan dengan pengalaman internal yang disebut Gawain di atas,
pengelola-pengelola peperangan dalam diri, lebih mungkin sampai pada tataran
hidup sejahtera selamanya. Sedangkan mereka yang membiarkan dirnya dikelola
peperangan, amat sulit untuk sampai pada tataran sejahtera. Bagaimana bisa
sejahtera, kalau nafsu, ego, keserakahan, dan keinginan lari kencang tanpa
rem. Berapapun jumlah materi yang kita miliki, ia akan tetap terasa kurang.
Untuk itulah, kita memerlukan seorang manajer dalam diri kita. Secara lebih
khusus yang bisa mempengaruhi struktur kerja fikiran. Pekerjaan manajer
tadi, menjaga jangan sampai ego, nafsu dan keinginan lari liar tanpa
kendali, dan menetralisir setiap kekuatan untuk kembali pada posisi
seimbang. Kearifan, kedewasaan dan spiritualitas adalah sebagian kekuatan
yang bisa digunakan manajer tadi, dalam menetralisir hawa nafsu.

Berkaitan dengan reposisi uang dalam kehidupan, sudah saatnya kita kembali
ke fungsi uang yang mendasar. Sebagai sarana kehidupan, uang memang mengenal batas. Namun sebagai sarana pemuas ego, uang tidak pernah mengenal batas cukup. Untuk itu, penting sekali buat setiap orang, untuk memisahkan antara kedua posisi uang terakhir.

Mungkin saja kedengaran idealis, namun menjebak diri ke dalam posisi uang
sebagai pemuas ego, sama saja menggali kuburan buat kehidupan sendiri, untuk
kemudian masuk ke situ tanpa disadari. Coba renungkan secara mendalam,
seberapa banyak yang betul-betul kita butuhkan untuk hidup sehat, untuk
sekolah anak-anak, atau hidup aman ? Bukankah jumlahnya bisa dihitung secara
amat rasional ? Akan tetapi, bisakah Anda menghitung jumlah uang yang cukup
untuk memuaskan semua ego ? Dihitung saja tidak bisa, apa lagi dipuaskan.

Makanya, saya tidak heran ketika mengetahui bahwa Gawain menulis : 'Although
no amount of wealth can guarantee prosperity, it is possible to experience
prosperity at almost any level of income'. Hanya saja ada dua hal yang
kurang diperhitungkan Gawain, kesejahteraan bisa hadir di setiap tingkatan
penghasilan, bila orang memiliki manajer fikiran, serta berhasil kembali ke
fungsi dasar uang sebagai sarana kehidupan.

Tidak mudah tentunya. Dan kesempurnaan hidup seperti kesejahteraan, memang
senantiasa bersembunyi di balik banyak hal yang tidak mudah. Persis seperti
apa yang disarankan Gawain : 'True prosperity is not something we create
overnight. It is not a fixed goal, a place where we finally arrive, or a
certain state that we will some day achieve. It is an ongoing process that
can continue to unfold and deepen throughout our lives'.

Seorang guru yang saya tahu hidup sejahtera selamanya, pernah bertutur,
ketika uang ada ia akan menikmati secukupnya, ketika uang tidak ada ia akan
mendalami spiritualitas. Dengan penuh keyakinan ia bertutur ke saya :
'kehidupan tidak bisa mendikte saya, sayalah yang mendikte kehidupan'.
Sudahkah Anda sampai di sana ?

Tidak ada komentar: