Lajang Lebih Cepat Pikun
Melajang hingga usia paruh baya tidak hanya membuat seseorang bersentuhan dengan kesepian, tapi ternyata juga meningkatkan risiko terkena demensia alias kepikunan. Kesimpulan ini terungkap dari penelitian yang dilakukan tim peneliti dari Karolinska Institute, Swedia. Tim yang dipimpin Dr Krister Hakansson ini menemukan ternyata memiliki pasangan hidup dapat mengurangi risiko kepikunan setelah melakukan studi terhadap 1.449 responden.
Dari penelitian ini, tim peneliti percaya bahwa rendahnya frekuensi interaksi sosial, terutama di antara pasangan, dapat mempengaruhi kepikunan. Rebecca Wood dari Lembaga Riset Alzheimer, Inggris, mengatakan hasil penelitian yang dipublikasikan pada konferensi di Amerika Serikat itu membuat cemas banyak pihak karena, menurut hasil penelitian tersebut, ancaman kepikunan tiga kali lebih tinggi pada janda atau duda yang terus melajang hingga paruh baya. Sementara itu, janda muda yang tidak kunjung menikah kembali risikonya lebih tinggi enam kali lipat. Tentunya dibandingkan dengan orang yang memiliki pasangan.
"Penelitian Hakansson memperlihatkan dampak baik dan menguntungkan dari kehidupan pernikahan, namun menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Inggris karena di sana banyak terjadi perceraian, rendahnya pernikahan, dan meningkatnya populasi orang lanjut usia," ujar Rebecca seperti dikutip dari BBC.
Demensia merupakan sindrom penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan penurunan kualitas kognitif dan fungsional sehingga memicu terjadinya gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari. Derita ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti penyakit yang menyangkut kesehatan umum, antara lain penyakit jantung, paru, ginjal, gangguan darah, infeksi gangguan nutrisi, berbagai jenis keracunan, serta kelainan otak primer, seperti stroke, infeksi, dan proses degenerasi.
Demensia alzheimer merupakan salah satu bentuk demensia yang terjadi akibat degenerasi otak. Penyakit ini dikategorikan sebagai penyakit degeneratif otak progresif yang mematikan sel-sel otak sehingga mampu menurunkan daya ingat, kemampuan berpikir, dan perubahan perilaku. "Demensia jenis ini merupakan yang paling sering ditemukan dan paling ditakuti," ujar Dr Samino SpS dalam seminar "No Time to Lose" di Hotel Nikko, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sayangnya, menurut Ketua Umum Alzheimer Indonesia, demensia alzheimer belum cukup dikenal masyarakat sehingga kepedulian terhadap penyakit ini sangat rendah. Umumnya masyarakat menganggap kepikunan merupakan proses penuaan alami sehingga gejala awal demensia sering diabaikan. Walaupun belum ada data pasti jumlah penderitanya, Samino memprediksi terjadi peningkatan signifikan atas kasus tersebut. Diperkirakan pada 2040, jumlah penderitanya mencapai 80 juta. "Padahal kegagalan diagnosis dini mengakibatkan penanganan yang tidak tepat dan memberikan beban bagi pasien dan keluarganya," ujar dokter spesialis saraf ini.
Dr Suryo Dharmono SpKJ(K) menambahkan, gangguan perilaku yang sering ditemukan pada pasien demensia alzheimer, antara lain, berupa perilaku agresif (menjadi galak, kasar, tidak jarang menyerang secara fisik), hilang arah (pasien suka keluyuran tanpa tujuan, hilang dari rumah, tersesat), gelisah, mondar-mandir, senang menimbun barang, sering berteriak-teriak tengah malam, dan penderita tidak mau ditinggal sendirian.
"Penderita juga menjadi impulsif, tidak bisa mengontrol perilakunya, kekanak-kanakan, cenderung mengulang-ulang pertanyaan dan kehilangan sopan santun, seperti meludah di sembarang tempat," psikiater dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini memaparkan.
Gangguan psikologis juga sering ditemukan pada pasien demensia alzheimer, biasanya berupa depresi, misalnya penderita menarik diri, menolak makan, menangis, merasa terbuang, putus asa, dan merasa ingin bunuh diri. Pasien demensia zlzheimer dengan depresi memperlihatkan gangguan fungsional yang lebih berat dibanding yang tanpa depresi. Di samping itu, juga ditemukan kecemasan (penderita selalu ketakutan akan ditinggal oleh keluarganya) serta halusinasi/deluasi (sering kali berupa halusinasi penglihatan, seperti melihat anak kecil memasuki kamarnya, seseorang duduk di ranjangnya).
Bila saat ini Anda hidup sendiri, jangan keburu cemas. Susanne Sorenson dari Masyarakat Alzheimer Inggris menyebutkan, ada sejumlah pencegahan agar tidak terkena penyakit ini, di antaranya menjalankan diet Mediterania, menghentikan kebiasaan merokok, dan berolahraga secara rutin. Samino pun menyarankan preventifnya serupa, yakni mengubah gaya hidup, termasuk memilih makanan yang baik untuk otak, seperti sayuran hijau, buah-buahan, dan aktif berolahraga.
Selain itu, Samino menganjurkan agar rajin menstimulasi fungsi kognitif, seperti membaca, menulis, atau mendongeng; mengikuti kegiatan seni musik atau tari; aktif melakukan kegiatan yang kreatif atau mengembangkan hobi, menghindari paparan zat toksin; melakoni senam otak, seperti belajar mengingat kembali masa dulu, menulis otobiografi, sering pergi ke tempat ramai seperti mal untuk mengenali obyek-obyek baru; serta bersosialisasi dengan kelompok atau orang lain. "Prinsipnya, sel neuron di otak selalu aktif kita gunakan. Jangan karena tua, lantas kita diam saja, tidak aktif, ini justru semakin mempercepat terjadi penurunan kualitas otak," ujarnya. MARLINA MARIANNA SIAHAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar