Rabu, 03 September 2008

Silent is golden

"Silent is golden" begitu bunyi pepatah kuno. Apakah pepatah ini masih
relevan dengan jaman sekarang ? Gede Prama sedikit mengubah pepatah ini
menjadi : "Bicara baik atau diam". Kalau kita bisa melakukan hal ini, maka
"terjadilah di bumi seperti di dalam surga". (PDS)


Bicara Baik Atau Diam
Penulis: GedePrama

Ada sejenis kecemburuan tersendiri kalau saya melihat seorang pelukis sedang
melukis. Melalui kegiatan bercakap-cakap dengan diri sendiri, seorang
pelukis kemudian mengungkapkan hasil percakapan tadi ke dalam sebuah
lukisan. Sehingga bagi siapa saja yang cukup peka untuk memaknai karya seni,
ia bisa menerka percakapan apa yang terjadi di balik banyak lukisan.

Agak berbeda dengan pelukis di mana lukisanlah salah satu hasil
percakapannya dengan diri sendiri, kita manusia biasa memiliki juga hasil
dari percakapan panjang kita bersama diri sendiri. Dan hasil yang paling
representatif adalah badan yang kita bawa kemana-mana selama hidup. Atau
kalau mau lebih dalam, jiwa adalah salah satu hasil lain dari percakapan
jenis terakhir ini.

Dilihat dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup ini isinya serupa dengan
kegiatan melukis. Bedanya dengan pelukis, kita sedang melukis diri kita
sendiri. Mirip dengan pelukis, ada aspek yang disengaja ada juga aspek yang
tidak disengaja. Dan percakapan adalah kuas, kertas, warna yang menjadi
bahan-bahan kita dalam melukis. Dalam tingkat penyederhanaan tertentu,
apapun yang kita percakapkan dengan diri sendiri akan memberikan warna
terhadap lukisan (baca : wajah) kita sendiri.

Coba Anda perhatikan orang-orang yang suka sekali bicara negatif. Dari
ngerumpi kejelekan orang lain, iri, dengki, menempatkan orang lain dalam
posisi tidak pernah benar, sampai dengan suka berkelahi dengan banyak orang.
Perhatikan badan dan sinar mukanya, bukankah berbeda sekali dengan orang
lain yang percapakannya lebih banyak berisi hal-hal yang positif ?

Lebih dari sekadar memiliki wajah berbeda, orang yang isi percakapannya
hanya dan hanya negatif, juga berhobi memproduksi penyakit yang akan
dihadiahkan pada tubuhnya sendiri. Berbagai jenis penyakit siap menawarkan
diri secara amat suka rela kepada orang-orang jenis ini. Dari penyakit fisik
sampai dengan penyakit psikis. Di luar kesengajaan mereka, atau bersembunyi
di balik kesenangan sesaat, orang-orang seperti ini sedang memukul, menusuk
dan bahkan menghancurkan badan dan jiwanya. Kalau kemudian lukisan
kehidupannya berwajah hancur lebur, tentu bukan karena sengaja dihancurkan
orang lain.

Dalam bingkai renungan seperti ini, layak dicermati kembali bagaimana
persisnya kita bercakap-cakap dengan diri sendiri setiap harinya. Entah
ketika di depan cermin, entah tatkala berhadapan dengan banyak perkara,
entah di manapun kita selalu bercakap-cakap dengan diri sendiri. Tidak hanya
sejak bangun pagi sampai tidur malam kita melakukan percakapan, bahkan
ketika tidurpun kita bercakap-cakap dengan diri sendiri.

Kalau semuanya bisa digerakkan dari tataran kesadaran semata, semua orang
hanya mau bercakap-cakap yang positif saja. Sayangnya, kekuatan di balik
percakapan tidak saja berada di wilayah kesadaran. Ia juga berakar dalam
pada wilayah-wilayah di luar kesadaran. Di sinilah letak tantangannya.
Orang-orang yang terlalu lama memformat lukisannya dengan
percakapan-percakapan negatif, tentu dihadang tantangan yang lebih besar.
Demikian juga sebaliknya.

Akan tetapi, seberapa besarpun tantangannya, pilihan diserahkan ke kita,
akankah kita membuat lukisan diri sendiri yang berwajah indah, atau bopeng
mengerikan di sana-sini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
percakapan memang kendaraan yang amat menentukan dalam hal ini.

Seorang sahabat jernih pernah memberikan pedoman amat sederhana dalam hal
ini : speak good, or be silent. Bicaralah hal-hal yang baik saja, kalau
tidak bisa diamlah. Tampaknya terlalu sederhana, tetapi menangkap esensi
yang paling esensi. Sekaligus memberikan kompas, ke arah mana perjalanan
percakapan sebaiknya dilakukan.

Tertawa tentu saja boleh dan bahkan sehat. Namun tertawa dengan cara
mentertawakan kekurang fisik orang lain tentu saja layak untuk dikurangi.
Waspada dan hati-hati juga tidak salah, namun curiga apa lagi menuduh orang
lain tanpa bukti mungkin perlu rem yang menentukan dalam hal ini. Demikian
juga ketika melihat kekurangan orang lain, atau juga kekurangan diri
sendiri.
 
Serakah misalnya, kenapa tidak dibelokkan menjadi serakah belajar
dan berusaha. Kebiasaan mumpung sebagai contoh lain, mumpung berkuasa kenapa
tidak segera menjadi contoh dari hidup yang lurus dan bersih. Iri hati juga
serupa, bisa saja energi-energi iri hati digunakan sebagai mesin pendorong
kemajuan yang amat menentukan. Bentuk tubuh yang tidak menarik sebagai
contoh lain, kenapa tidak digunakan sebagai cambuk untuk mengembangkan
kecantikan dari dalam diri.

Dari serangkaian contoh ini, yang diperlukan sebenarnya kesediaan untuk
senantiasa berdisiplin di dalam diri. Terutama disiplin untuk mendidik mulut
dan pikiran, serta membelokkan setiap energi negatif ke tempat-tempat yang
lebih produktif. Kalau ada yang menyebutnya susah, tentu saja tidak salah.
Karena mirip dengan lukisan indah yang senantiasa dihasilkan pelukis dengan
penuh perjuangan, demikian juga dengan lukisan kehidupan. Kita hanya perlu
mengingat sebuah kalimat sederhana : bicaralah yang baik, atau diam
sekalian. Dan atas rahmat Tuhan lukisan kehidupanpun mungkin berwajah lebih
menarik. Setidaknya, itulah yang sedang saya percakapkan dengan sang diri
ketika tulisan ini dibuat.

Tidak ada komentar: