Kamis, 28 Agustus 2008

Berhentilah Menyalahkan Orang

Alumni Pika yang berbahagia,
Saya pernah mendengarkan seorang penceramah bertutur, bahwa tidak ada gunanya saling menyalahkan, lebih baik mencari jalan keluar bersama. Kalau kita menyalahkan orang lain, seperti kalau telunjuk kita menunjuk orang lain, sebetulnya hanya telunjuk dan jempol saja yang menunjuk orang, sedang ketiga jari yang lain menunjuk pada diri kita sendiri (coba buktikan sendiri). Ini berarti, jelas penceramah itu lebih lanjut, jangan menyalahkan orang lain karena kesalahan ada pada kita (terbukti dengan tiga jari menunjuk kepada kita). Entah benar atau tidak uraian penceramah itu, tulisan Gede Prama di bawah ini rupanya sejalan dengan pemikirannya. Mari kita simak bersama.

 
Berhentilah Menyalahkan Orang
Oleh: Gede Prama

Ribuan anak muda yang baru memasuki gerbang kerja, juga manajer muda yang
frustrasi di dunia kerja, kerap bertanya pada saya : aspek apa dari dunia
kerja yang paling sulit dihadapi ? Terus terang, bekerja apapun dan
dimanapun, serta bermodalkan pendidikan manapun sebenarnya mudah, asal tekun
belajar dan bertanya. Yang sering bikin semuanya jadi rumit, adalah
interaksi antar manusia. Jangankan manusia yang baru memasuki gerbang kerja,
mereka yang sudah berumur senja di tempat kerja sekalipun sering dibuat
pusing oleh interaksi antar manusia ini.

Meminjam pengandaian seorang penulis, ada perbedaan antara menendang bola
dan menendang kucing. Sebelum menendang bola, kita bisa ramalkan kemana bola
akan bergerak setelah ditendang. Akan tetapi, sebelum menendang kucing, kita
tidak tahu apakah kucingnya akan menangis, lari, melompat, mati atau
alternatif lainnya. Nah, meramalkan respons orang lain sebelum kita
bertindak, jauh lebih rumit dibandingkan dengan meramalkan respons kucing.
Sebab, kucing tidak mengenal politik, pura-pura, balas dendam dan
serangkaian hal rumit lainnya. Namun, ini juga yang menyebabkan disiplin
mengelola manusia menjadi penuh sentuhan seni dan kepekaan. Sebagian kecil
memang bisa diungkapkan melaui kata-kata. Cuman, sebagian besar ia bersifat
tidak terungkapkan dan hanya bisa dirasakan.

Saya tidak anti sekolah atau anti pelatihan, namun hal-hal yang bersifat
tidak terungkapkan itu, lebih banyak bisa dimengerti kalau kita mengalaminya
sendiri di lapangan. Diisukan negatif oleh orang lain, tidak cocok, mau
didongkel dari kursi, dipermalukan di depan umum, diomongkan negatif di
belakang kita, hanyalah serangkaian hal yang mesti dialami sendiri di
lapangan. Untuk kemudian, mendapatkan pengertian yang dalam tentang dinamika
interaksi antarmanusia di dunia kerja. Saya meragukan, kalau ada orang yang
memperoleh pengertian terakhir, tanpa pernah dihempas gelombang-gelombang
godaan tadi. Setelah belajar dari tumpukan ribuan kebodohan dan kegagalan
masa lalu, saya menemukan sebuah kearifan berguna. Dalam setiap persoalan
manusia, saya belajar untuk mengurangi mencari siapa yang salah. Dan
memusatkan perhatian untuk memecahkan persoalan. Amat mirip dengan cara terakhir, Ken
Cloke dan Joan Goldsmith dalam Resolving Conflict At Work, pernah menulis :
'Define the problem as a person and you are in trouble. Define the problem
as difficult behavior, you can do something about it'. Dengan kata lain,
jika Anda menempatkan masalahnya pada orang, dan kemudian mengambil tindakan
(apa lagi ilegal) maka masalah akan diganti dengan masalah yang lebih besar.

Namun, bila pemecahan dikonsentrasikan pada perilaku yang sulit, kemudian
kita bisa mencarikan jalan keluar yang lebih produktif. Nah, bila saja
banyak orang mau belajar berhenti untuk menyalahkan orang lain, dan
memusatkan perhatian pada pemecahan persoalan, dunia
kerja bukanlah sesuatu yang menakutkan. Ia adalah tempat 'meditasi' yang
kerap menghadirkan kedamaian. Persoalannya, untuk bisa berhenti dari
kebiasaan buruk tadi, disamping kadang kurang didukung lingkungan, juga
sering dihadapkan oleh dorongan-dorongan dari dalam diri yang juga tidak
mudah. Emosi, ego, harga diri, gengsi, ketidaksabaran hanyalah sebagian
kecil dari dorongan-dorongan tadi. Siapapun orangnya - dari penjahat sampai
dengan pendeta -   memiliki dorongan terakhir dengan kadar yang
berbeda-beda. Namun, siapapun juga orangnya, ia membutuhkan "deep
 meditation" untuk mengelola dorongan-dorongan tadi.

Apa yang saya sebut dengan deep meditation sebenarnya amatlah mudah. Ketika
lapar, makanlah secukupnya. Tatkala haus, minumlah semampunya. Manakala mata
mengantuk, tidurlah secukupnya. Dengan kata lain, hidup kita dengan seluruh
kesehariannya sebenarnya sebuah meditasi panjang. Bila kita melakukan
meditasi panjang ini dengan penuh ketekunan, kita yang menjadi pengelola
tubuh dan jiwa ini. Bukan sebaliknya, kita dikelola oleh tubuh ini.
Lebih-lebih bagi mereka yang kebanyakan pekerjaannya adalah mengubah orang
lain. Atau memiliki tugas mulia memasyarakatkan nilai-nilai luhur. Sulit
membayangkan, tugas-tugas itu bisa diselesaikan secara berhasil tanpa
melalui deep mediation. Ini juga sebabnya, kenapa bertemu orang-orang
tertentu kita mudah segan, hormat, respek dan perasaan sejenis.

Di suatu waktu, seorang rekan yang sudah puluhan tahun berpengalaman
mengelola ribuan manusia bertutur penuh keprihatinan. Mengurus
manusia-manusia sulit - demikian menurut rekan tadi - adalah pekerjaan yang
tidak pernah selesai. Tahun ini ada sekian manusia sulit
diselesaikan secara baik-baik, tahun berikutnya pasti - sekali lagi pasti -
ada manusia lain yang menjelma menjadi manusia sulit. Mirip dengan pekerjaan
rumah (PR) di sekolah, ia akan selalu datang secara bergantian dan
bergiliran. Benang merah yang bisa ditarik dari kisah ini adalah :
memecahkan masalah manusia dengan memindahkan, memecat dan sejenis memang
boleh-boleh saja dilakukan kadang-kadang. Akan tetapi, organisasi manapun
yang dipimpin oleh manusia dengan hobi menyalahkan orang lain, disamping
tidak bisa memecahkan persoalan jangka panjang, juga gagal membangun
hubungan industrial yang kuat. Nah, satu spirit dengan pendekatan deep
meditation, pekerjaan interaksi antarmanusia akan menjadi lebih mudah, bila
kita mulai berhenti menyalahkan orang lain.

Tidak ada komentar: