Minggu, 31 Mei 2015

Tenggang Rasa

TENGGANG RASA
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Beras plastik dijual, ijazah palsu diributkan, uang palsu setiap saat mengelabuhi kita dan penggunaan formalin. Anak-anak kita di sekolah makan bahan-bahan palsu yang mereka beli dari penjual makanan di sekitar sekolah, begal motor yang pernah marak serta bandar narkoba yang tidak jera-jera. Dari sini kita bisa menamai bahwa tahun ini adalah sebagai  Annus horribilis – tahun yang mengerikan.
          Dengan mata kepala sendiri, kita bisa menyaksikan bagaimana orang-orang berbuat sesuatu tanpa terusik hati nuraninya.  Pelaku kejahatan itu tidak berpikir jauh ke depan bagaimana efek yang dialami oleh konsumen. Bahan baku plastik dalam pembuatan beras merupakan bahan kimia yang tak layak dimakan. Efeknya menimbulkan gangguan pencernaan. Gangguan pencernaan yang terjadi pun jangka pendek maupun jangka panjang. Gangguan jangka pendek yang bisa terjadi di antaranya: diare, mual, kembung dan muntah. Efek jangka panjang adalah kanker (Fajar, Selasa 26 Mei 2015, "Mencermati Beredarnya Beras berbahan Plastik").  
Wolak-waliking zaman. Iki tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman– itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik. Bolak-balik, upside down yang kaya menjadi rakus, padahal  sudah kaya. Yang miskin semakin malas, padahal sudah melarat. Pengusaha menjadi politisi, sebaliknya para politisi malah berdagang. Wakil rakyat  dan pejabat minta dilayani. Rakyat pemberi mandat terpaksa melayani. Para ulama mengejar takhta. Rohaniwan lebih suka main sinetron dan menjadi penyanyi. Dan para penyanyi dan pemain sinetron malah berdakwah (Bdk. Jangka Jayabaya hlm. 33).
Saat ini kehidupan sangat berat. Barang-barang yang ditawarkan menggiurkan calon konsumen. Kalau zaman dulu yang memiliki gadged hanyalah orang-orang tertentu, sekarang ini hampir semua orang memilikinya, bahkan menjadi kebutuhan primer. Dulu orang yang memiliki kendaraan bermotor itu sangat terbatas, sekarang ini kendaraan bermotor dan mobil pribadi berjibun. Itulah sebabnya, orang-orang dituntut untuk "memiliki lebih". Sudah memiliki gaji cukup, masih korupsi, sudah punya usaha maju merasa masih kurang sehingga mempraktekkan usaha supaya cepat kaya (mental instant). Itulah sebabnya, orang menghalalkan cara agar apa yang diimpikan itu terwujud. Praktek semacam ini sebenarnya sudah dibuat oleh Niccolo Machiavelli (1469 – 1527),  "The end justifies the means," –  tujuan menghalalkan cara.
Issudan gossip lebih cepat sampainya, "Bad news travels fast" – orang cenderung senang menyebarkan berita buruk. Dalam strategi perang dikatakan bahwa para perwira lebih takut gossip daripada moncong bedil. Gossip itu bagaikan fitnah yang membunuh karakter seseorang. Dalam pewayangan misalnya kisah Durna meninggal karena diberitakan Aswatama meninggal. Seorang bapak tentu akan menjadi sedih jika anaknya dibunuh. Kabar bohon itulah yang menjadikan Durna kalang kabut.  Pada akhirnya sang guru Pandawa itu pun tewas dibunuh.
Demikian pula apa yang menjadi  hot news akhir-akhir ini. Ditulis dalam Tribun Timur, 24 Mei 2015 bahwa beras plastik merupakan issu untuk reshuffle Menteri Pertanian. Lantas, beberapa hari ini pula diberitakan di media elektronik bahwa Pemerintah menjamin tidak ada beras plastik yang dikatakan langsung oleh Kapolri, Badrodin Haiti. Kemudian dalam minggu ini pula masih ada pembahasan beras plastik dengan judul debat, "Kontroversi beras plastik".  Ini semua hendak menunjukkan bahwa issu beras plastik masih menjadi berita hangat di Indonesia (Dari Sabang sampai Merauke).
Benar tidaknya berita tersebut di atas, hati kita pun menjadi miris, "Mengapa orang begitu tega berbuat demikian kepada orang lain?"  Pengedar narkoba, pemberian formalin untuk panganan dan akhir-akhir ini beras plastik hendak menunjukkan betapa sudah lunturnya perasaan orang terhadap keselamatan orang lain. Barangkali para pelaku kejahatan itu berkata, "Toh bukan keluargaku atau saudaraku yang mengkonsumsi makanan itu!"  Tepo slira dan  tenggang rasa serta rasa belas kasih sudah mulai lenyap.
Hikmat yang dapat kita petik dari peristiwa "beras plastik" ini adalah bahwa  manusia makin egois. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memedulikan penderitaan sesama. Kekisruhan politik di negeri ini sangat berpengaruh bagi ekonomi masyarakat. Masyarakat Indonesia menjadi manusia pemberang, mudah marah serta tidak sabaran.

Sabtu, 30 Mei 2015    Markus Marlon
 
 

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Tidak ada komentar: