Senin, 11 Mei 2015

Pengharapan

PENGHARAPAN
(Kontemplasi Peradaban)
 
"Aegroto dum anima est, spes est"  –
Meskipun sakit, tetapi selama masih ada jiwa, harapan tetap masih ada.
 
Sembari membaca drama komedi, "The Tempest" tulisan Shakespeare (1564 – 1616) pikiran saya melayang-layang pada suatu pertanyaan tentang makna pengharapan. Drama The Tempest ini mengisahkan tentang tenggelamnya sebuah kapal. Dari sana saya bertanya dalam hati,  "Mengapa seorang pelaut yang kapalnya karam bisa perpegang erat pada sepotong papan selama beberapa hari di samodra?" Dan jawabannya, "Karena ia berpengharapan".  

Pengharapan adalah pra-syarat yang membuat kita hidup. Tanpa makan, pelaut yang kapalnya karam bisa tahan hidup beberapa hari. Namun tanpa harapan ia hanya akan tahan beberapa menit saja. Begitu ia putus harapan, ia mulai mengendurkan pelukannya pada papan pengapung, melepaskan papan itu lalu tenggelam.

Biarpun orang -barangkali- hidupnya terseok-seok dan menderita, namun harapan itu yang membuat seseorang kuat, seperti apa yang ditulis oleh Yesaya, "Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya.." (Yes 42: 3). Dan contoh yang tepat untuk menggambarkan makna pengharapan itu ada dalam diri Anne Frank (1929 – 1945), seorang gadis Yahudi yang baru berusia 14 tahun.

Pada waktu perang dunia kedua, ia bersembunyi selama 4 tahun di loteng rumahnya supaya jangan ditangkap dan dibunuh tentara Jerman. Namun akhirnya toh ditangkap dan dibunuh. Selama bersembunyi, ia tidak pernah putus asa. Ia tetap memunyai harapan bahwa sekali waktu kebaikan akan menang, "Sed vince in bono malum" – Tetapi kalahkan  kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12: 21). Ia menulis dalam buku hariannya, The Diary of Anne Frank, "Saya melihat bumi dihanguskan dan  saya mendengar bagaimana bunyi pesawat-pesawat yang membawa bencana. Dari sana saya menyadari bahwa semuanya itu akan berakhir dan perdamaian pun akan diraih  kembali."

Pengharapan akan selalu ada meskipun kadangkala nampak samar-samar. Pencobaan datang bertubi-tubi,  meskipun demikian, hidup sepertinya terpelihara. Seolah-olah ada  invisible hand yang menopangnya ketika mengalami kejatuhan dan kekelaman. Pengalaman ini seperti apa yang ditulis oleh Phil Pringle (Lahir 21 Mei 1952), seorang pendeta dan penulis  dari Australia, "The best thing about hope is that we can get up again, if we fall 100 times but get 101"  – Hal yang terbaik mengenai harapan adalah kita bisa bangkit kembali, jika kita jatuh 100 kali bangkit 101 kali.

Senin, 11 Mei 2015   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: