Rabu, 27 Mei 2015

Menghibur

MENGHIBUR
(Catatan  Perjalanan)
 
"Humanas actiones non ridere, non lugere, neque destari sed intelligere" – peri kehidupan manusia itu jangan ditertawakan, jangan diratapi dan jangan dikutuk, tetapi hendaknya dimengerti (Spinoza)
 
          Manusia adalah makhluk peziarah, pengembara (homo viator). Dan dalam peziarahannya, setiap peristiwa memiliki makna. Demikian pula yang saya alami. Pada waktu itu saya melawat dan melayat seorang ibu yang sedang berduka. Suaminya mengalami kecelakaan dan tewas di tempat. Ketika saya duduk bersama pelayat yang lain, ada segerombolan ibu-ibu – sepertinya teman arisan – menghibur ibu itu. Dari kejauhan saya mendengar salah seorang dari mereka, "Hai temanku, engkau harus sabar, berdoa, pasrah. Peristiwa ini adalah kehendak Tuhan, engkau jangan sedih lagi. Suamimu sudah bahagia di surga! Tuhan akan membuat semuanya indah pada waktunya!"  Itukah penghiburan yang baik?
          Harold S. Kushner dalam bukunya yang berjudul,  Derita, Kutuk atau Rahmat  menulis, "Ada suatu kebiasaan yang elok dalam ibadat duka orang Yahudi yang disebut  se'udat havra'ah   yakni makan sebagai lambang pemenuhan. Sepulang dari makam, keluarga yang sedang berduka tidak dibenarkan mengambil makan sendiri (atau melayani orang lain). Orang-orang lain harus menyuapinya, melambangkan betapa masyarakat berhimpun di sekeliling mereka untuk memberikan dukungan dan mencoba mengisi kekosongan dalam dunia mereka" (hlm. 143).   
          Suatu kali, ada seorang pendeta  yang mengunjungi jemaatnya yang sakit di Rumah Sakit. Ketika masuk di sal, pendeta ini hanya diam di samping umatnya selama 30 menit. Ia tidak bicara apa-apa, kemudian berpamitan  untuk melanjutkan tugasnya yang berikut.  Ketika orang yang sakit itu sembuh, ia mengucap terima kasih kepada pendeta, katanya, "Kehadiran pendeta selama saya sakit sungguh-sungguh luar biasa. Saya merasa bahwa keberadaan pendeta pada waktu itu sangat menguatkanku. Terima kasih karena sekarang saya sudah sembuh!"  Penghiburan bagi orang yang sakit dan menderita adalah menjadi pendengar yang setia.
          Henri Nouwen (1932 – 1996)  dalam bukunya yang berjudul,   Yang Terluka Yang Menyembuhkan menulis, "…. Kalau seorang wanita menderita karena kehilangan anaknya, pelayan Kristen tidak dipanggil untuk menghiburnya dengan mengatakan bahwa ia masih mempunyai dua anak lain yang tampan dan sehat di rumah. Ia ditantang untuk membantunya menyadari bahwa kematian anaknya menyatakan kebenaran bahwa ia sendiri juga dapat mati: kebenaran manusiawai yang juga berlaku bagi orang lain" (hlm. 88).
          Menghibur orang yang susah bukan berteori, namun terlebih mampu memahami apa yang dirasakannya (belarasa,  compassion  atau sehati seperasaan). Tidak ada hal yang membahagiakan bagi orang dimengerti dan dipahami orang lain ketika mengalami susah-derita atau berduka.

Rabu, 27 Mei 2015  Markus Marlon
 
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: