Rabu, 13 Mei 2015

Berubah

BERUBAH
(Kontemplasi Peradaban)
 
       "Naya genggong, sabdo palon" –
 Wajah yang teguh, sabda yang menjadi kunci.
 Pralambang kesetiaan kepada kata-kata
 dan keyakinan serta konsisten
 dengan yang diucapkan.
      
Suatu kali ada seseorang yang berkata kepada saya, "Duh saya senang sekali, ada orang yang akan memberiku hadiah yang sangat besar." Lantas saya berkata kepadanya, "Saudara jangan senang dulu, sifat manusia itu cepat berubah. Hari ini mungkin dia baik kepadamu tetapi besok siapa yang tahu!" Memang,  tiada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.
Dari sini pula, orang menjadi tidak suka dengan sifat hidup manusia yang suka berubah, modo sic  modo sic – sebentar begini, sebentar begitu. Orang Jawa mengatakannya dengan ungkapan, "Esok dhêlé, soré témpé" – pagi bicaranya kedelai namun sore ternyata tempe. Kata-katanya tidak bisa dipegang. Kalau Ovidius (43 seb.M – 18 M), penyair Romawi Kuno lebih ekstrim berkata, "Modo vir, modo femina"  – kali ini seperti laki-laki, kali lain seperti perempuan. Pepatah ini hanya akan mengatakan bahwa manusia itu –pada dasarnya – mudah dan  cepat berubah.
Dalam dunia politik kita tahu persis bagaimana para politisi berdebat. Hari ini mereka saling mengata-ngatai, namun esok harinya ternyata mereka minum kopi bersama-sama di café. Bahkan dalam dunianya terkenal dengan adagium yang pernah ditulis oleh Lord Palmerstone (1784 – 1865) negarawan Inggris, "Tidak ada musuh abadi, demikian juga tidak ada kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi."  Namun, berabad-abad lalu sudah  ada dictum yang sangat tersohor, "Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum" – lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan. Yang namanya kepentingan memang bisa menyatukan. Orang atau lembaga yang memiliki kepentingan sama, misalnya kuasa atau harta, tentu saja akan menjadi kawan. Namun yang tadinya kawan akan menjadi lawan tatkala kepentingannya berbeda.
Dunia politik memang tidak bisa diprediksi. Mungkin hari ini, seorang tokoh partai mengatakan begini tetapi besoknya dengan mudah mengatakan begitu.  Otto van Bismark (1815 – 1898)  dalam suatu kesempatan mengatakan, "Politik bukanlah ilmu pasti" – politics is no an exact science dan pada kesempatan lain ia juga berkata, "Politik adalah seni dari kemungkinan" – politics is the art of the possible.  
Orang yang tidak konsisten tidak disukai. Kebudayaan Jawa mengenal ungkapan, "Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali" dan "Berbudi bawalaksana" artinya ucapan raja tidak boleh diulang dan seorang raja harus teguh memang janji. Kalau dalam Kitab Suci agama Kristen dikatakan, "Jika ya, hendaklah katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakah: tidak..." (Mat 5: 37).  Dalam bahasa sekarang dikatakan sebagai wilayah  "abu-abu" atau "grey area." Hitam tidak putih pun tidak. Plin-plan kependekan dari  plintat-plintut.

Kamis, 14 Mei 2015  Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: