PEKA
(Sebuah Catatan Perjalanan)
Tahun 80-an, saya sering menggunakan jasa omnibus vehiculum (kendaraan umum) – yang kemudian orang menyebutnya sebagai bus – dari Jogya ke Magelang, tepatnya di Mertoyudan. Di dalam perjalanan, kami duduk di kursi masing-masing. Di tengah perjalanan, kadang ada penumpang baru yang naik. Tidak terelakkan bahwa penumpang yang baru itu adalah seorang ibu yang sudah hamil tua. Dengan kepekaan yang tinggi dan gentleman, seorang pemuda tentu akan berdiri dan mempersilakan ibu itu untuk menempati tempat duduknya.
Sikap pemuda tadi sungguh terpuji. Sikap peka bisa dilatih sejak anak usia dini. Kahlil Gibran (1883 - 1931) dalam bukunya yang berjudul, "Suara Sang Guru" menulis bahwa seorang anak yang dididik dengan penuh kasih, akan menjadi pribadi yang yang mengasihi. Sejak usia dini, anak dilatih untuk keluar dari diri membantu orang lain. Dari sini pula, kita mengenal sebuah syair, "Sympathy for the suffering of others¸often including a desire to help" – rasa simpati terhadap penderitaan sesamanya yang dinyatakan dengan keinginan untuk menolong. Bagi Ėmmanuel Lévinas (1906 – 1995), pengalaman dasar manusia adalah perjumpaan dengan orang lain. Oleh karena itu, seseorang bertanggung jawab total atas keselamatan sesamanya. Di sinilah muncul istilah effect of care (kepekaan dan kepedulian).
Kepekaan zaman sekarang sungguh-sungguh diuji. Apa yang diramalkan oleh Jayabaya dalam "zamam edan" kini terwujud (Bdk. Buku dengan judul "Jangka Jayabaya" tulisan Anan Krishna). Kesopanan mulai pudar, tatakrama hampir lenyap dan unggah-ungguh tinggal kenangan. Ia menulis, "Jaran doyan mangan sambel" – kuda suka makan sambal. Seekor kuda bila diberi makan sambal akan mengamuk. Ia akan lepas kendali karena kepedasan. Manusia zaman sekarang kini menjadi pemberang, mudah terpancing isu dan tidak bisa bersikap sabar dalam berkendaraan.
Selasa, 26 Mei 2015 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Senin, 25 Mei 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar