Jumat, 29 Mei 2015

Ramah

RAMAH
(Sebuah Catatan Perjalanan)
 
"Hospes eram et collegistis me" – waktu aku
 menjadi orang asing, engkau telah memberi tumpangan.
      
Ketika saya masuk sebuah warung untuk memberi sesuatu, para penjaga toko itu tidak ramah. Saya serta-merta meninggalkan toko itu dan pindah ke sebelah. Jujur saja bahwa pada waktu itu saya hanya berharap ingin di-wong-ke, artinya dihargai yang  tentunya dengan keramahtamahan. "A man without a smiling face must not open  a shop"  – Mereka yang tidak bisa tersenyum janganlah membuka toko. Ungkapan ini berasal dari falsafah China. Pelayan toko yang ramah akan memikat pembeli dan membuat dagangan  mereka laris. Bagi penjual  "customer is king"  – pembeli adalah raja, sehingga  harus dilayani dengan ramah.

          Ya! Ramah itu menyembuhkan. Coba kalau kita sakit dan dibawa ke rumah sakit, namun perawat yang menangani kita itu wajahnya mbesengut dan njaprut, artinya mukanya tidak ramah, tentu kita akan menjadi semakin sakit. Namun, jika para perawat di sana  banyak senyum dan ramah, maka sakit pun akan berkurang. Benar sekali bahwa dalam bahasa Inggris untuk Rumah Sakit adalah The Hospital.

Dunia kuno mencintai dan menghormati keramahtamahan. Bangsa Yahudi memunyai ungkapan, "Ada enam hal yang buahnya dapat dinikmati oleh manusia dalam dunia ini dan yang akan menaikkan kehormatannya dalam dunia yang akan datang." Daftarnya mulai dengan "keramahtamahan terhadap orang asing dan perkunjungan kepada mereka yang sakit." Bangsa Yunani menyebut Zeus dengan salah satu gelar kesenangannya yaitu Zeus Xenios – Zeus dewa orang asing. Dengan demikian, para pengembara dan orang asing berada di bawah perlindungan raja dan para dewa. Menurut James Moffatt (1870 – 1944), keramahtamahan itu adalah tugas utama dalam agama zaman kuno.

          Orang Jawa sejak usia balita sudah diajari untuk grapyak dan semanak, artinya ramah. Di pedesaan zaman waktu kecilku, di depan samping pintu rumah selalu ditempatkan sebuah penampung air yang disebut dengan kendhi. Kendhi atau tempayan kecil itu diperuntukkan bagi pejalan kaki yang lewat depan rumah. Itulah "pelajaran pertama"  keramahtamahan di pedesaan (Gunung Kidul – Yogyakarta) pada waktu itu.  

Kamis, 28 Mei 2015  Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: