(Sebuah Tanggapan untuk Ferry cum suis)
Stef Tokan – setelah membaca tulisan Ferry Doringin – mengajak kita untuk berdiskusi dan dari sana muncul bapak Felix, Jimmy, Bapak Oce. Saya akan mencoba untuk tambah-tambah sedikit.
Melihat sosok guru, terlintas dalam benak saya seorang bapak-ibu guru yang sederhana serta naik sepeda unta, seperti lagu yang berjudul, "Umar Bakri." Namun pada zaman itu, guru sungguh-sungguh menjadi pribadi yang bisa digugu dan ditiru yang artinya: dipercaya dan diteladani. Seperti dalang yang memiliki makna medar piwulang, artinya: orang yang membuka rahasia ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, guru, dalang, kiai adalah orang-orang yang pantas dicintai dan disegani. Jika ada orang memunyai masalah, mereka itu yang menjadi jujugan (tempat bertanya). Guru memiliki posisi yang dihormati dan disegani.
"Tempora mutantur et nos mutamur in illis" – waktu itu berubah dan kita pun ikut berubah di dalam kurun waktu itu. Demikian pula ada perubahan posisi guru pada zaman ini. Untuk memosisikan seorang guru seperti yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959), seorang pelopor pendidikan yang mendirikan sekolah Taman siswa pada tahun 1922 yang memiliki semboyan "Tut wuri handayani", atau aslinya: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tuladha (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).
Kayaknya sulit deh memiliki guru seperti itu. Sering dalam media massa atau media elektronik, kita melihat atau membaca kehidupan guru-guru yang – maaf – hidupnya ekonominya pas-pasan, cenderung ngos-ngosan, bahkan ada yang punya sambilan menjadi tukang ojek. Untuk itulah, menjadi guru bukan menjadi pilihan favorit. Bahkan orang tua saya yang guru malah memberi nasihat, "Tole anakku, jangan mau menjadi guru." Anak-anak SD, jika ditanya tentang cita-citanya tentu yang muncul adalah, "Saya ingin jadi dokter, pilot, insinyur…" Menjadi guru seolah-olah tidak ada dalam pikiran mereka.
Bapak Oce secara jelas menulis bahwa menjadi guru bukan menjadi kebanggaan dengan mengatakan, "cuma guru!" apalagi para guru – yang oleh Bapak Felix – diberi "hadiah" himne guru yang pada akhirnya disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa." Menjadi guru seolah-olah mengabdi atau menjadi abdi, pelayan yang tentu beda dengan insinyur, pilot maupun dokter dan direktur Bank.
Namun di lain pihak kita harus menyadari bahwa guru juga menjadi kebanggaan bangsa. Guru bangsa yaitu alm. Nurcolis atau Cak Nur begitu bangga dengan menjadi guru. Zaman kita ini banyak guru-guru yang pantas diteladani. Orang-orang seperti Jansen Sinamo - guru ethos Indonesia, Pri GS - budayawan yang menggoda Indonesia, Andre Wongso - motivator no. 1 Indonesia sangat bangga menyebut diri mereka guru. Mereka adalah guru-guru yang berkualitas yang oleh Jimmy Pontoan disebut sebagai guru yang berintegritas dan oleh Bapak Felix disebut sebagai sincere. Sine artinya tanpa dan cere artinya lilin. Zaman dulu kalau orang membeli patung itu tidak mau yang ada lilinnya atau plitur. Lilin sebagai penutup kayu yang berlobang atau rusak. Sincere diartikan sebagai tulus atau lurus hati (Bdk. St. Josef si lurus hati). Guru yang berintegritas dan sincere itu seperti yang dicita-citakan oleh Ferry Doringing: berkualitas dan tidak mau menerima suap (Baca juga Tulisan L. Wilarjo yang berjudul, "Mutu Dosen." Dalam Kompas 24 Agustus 2013).
Mengontemplasikan tentang makna guru, saya menjadi ingat akan pencarian Telemachus putra mahkota dari Penelope dan Odysseus Raja Itacha. Homerus (± abad VIII seb.M) mengatakan bahwa pada saat mencari ayahnya, Telemachus dibimbing oleh "burung" yang adalah Sang Dewa. Oleh Homerus itu disebut mentor dan bukan teacher. Dari sini, saya berpendapat bahwa zaman sekarang ini para murid atau mahasiswa "sudah tahu banyak hal" dengan adanya kemajuan tehnologi. Maka tidak mengherankan jika Bapak Felix lebih senang disebut sebagai guru yang baik daripada guru yang pintar. Guru-guru zaman sekarang mungkin baik kalau berkaca kepada "Pencarian jati diri dalam diri Telemachus." Mereka membutuhkan mentor, pembimbing, teman seperjalanan (companion) dan saya lebih senang menyebut guru sebagai soul-friend dari para muridnya.
Kamis, 29 Agustus 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com