Minggu, 04 Maret 2012

PEMIMPIN YANG HEMAT KATA

PEMIMPIN YANG HEMAT KATA
(Sebuah Percikan Permenungan)

"Kekuasaan tidak bisa dimiliki oleh orang-orang yang bicara sembarangan",
adalah kutipan dari buku yang berjudul, 48 Hukum Kekuasaan tulisan Robert
Greene. Penulis menggambarkan kisah ini dengan tokoh yang bernama
Coriolanus.

Gnaeus Marcius, yang juga dikenal sebagai Coriolanus, adalah seorang
pahlawan militer besar di Roma kuno. Pada paruh pertama abad 5 s.M, ia
memenangkan banyak peperangan terkenal dan menyelamatkan kota itu dari
bencana berkali-kali.

Sebelum terjun ke dunia politik, nama Coriolanus memancing perasaan takjub.
Prestasinya di medan perang menunjukkan bahwa ia adalah seorang pria yang
sangat pemberani. Karena rakyat tidak tahu banyak hal tentangnya, berbagai
jenis legenda pun disangkut-pautkan dengan namanya. Namun demikian, tepat
saat ia berpidato di hadapan rakyat Roma dan mengutarakan pendapatnya,
segenap kehebatan dan misterinya pun lenyap. Semakin banyak ucapan yang
dilontarkan oleh Coriolanus, ia tampak semakin lemah.

Seorang pemimpin adalah pemegang kebijakan (stakeholder). Kata demi kata
yang dikeluarkan dari mulutnya haruslah sudah "matang." Orang Jawa
mempunyai jargon yang sangat tepat, "Sabda pandhita ratu" yang artinya
perkataan seorang raja yang sudah keluar dari mulutnya tidak bisa ditarik
kembali. Pengajaran ini amat dipatuhi dalam dunia pewayangan. Para ksatria
yang telah mengungkapkan kata-kata untuk melakukan sesuatu sudah dianggap
sebagai ikthiar atau sumpah yang harus dipenuhi. Para ksatria sejati tidak
mudah mengumbar janji.

Seorang pemimpin yang suka berpolemik dan membuat pernyataan menjadi
makanan empuk bagi lawan politiknya. Apa yang dilontarkan ke masa bagaikan
bola salju. Pernyataan Sang Pemimpin begitu cepat menyebar tanpa kendali.
"Ajining diri gumantung kedaling lathi" yang artinya, harga diri seseorang
tergantung dari kata-kata yang keluar dari mulutnya. Pro dan kontra untuk
menyikapi kata-kata Sang Pemimpin menuai badai yang besar, sehingga
melelahkan dan menguras energi. Inilah yang diharapkan dari para lawan
politiknya. Pada gilirannya, Sang Pemimpin menjadi tidak berwibawa lagi,
dan jika berpidato – meskipun isinya berbobot – tetapi karena kurang bisa
mengendalikan lidahnya, kata-kata yang keluar darinya tidak mempunyai arti
lagi. Pidatonya tidak mempunyai nilai jual.

Historia repete, sejarah berulang. Banyak kekuasaan jatuh karena kata-kata
yang diucapkan. Buku tulisan Stefan Zweig yang berjudul Marie Antoineette
sangat jeli memaparkan tentang terjadinya Revolusi Perancis. Tidak ingatlah
bahwa Revolusi Perancis juga terjadi karena kata-kata dari Marie
Antoinette, "Roti di istana ada, tetapi tidak cukup untuk kalian." Tentu
saja rakyat yang kelaparan akan mencari jalan supaya orang-orang dalam
istana tersebut juga menderita kelaparan. Jalan satu-satunya adalah
revolusi. "Hukuman" dari rakyat tersebut adalah gantung dengan goulettine.
Kata-kata yang tidak terkendali berpotensi untuk membuat keruh suasana.

Para pemimpin seperti Louis XIV adalah orang-orang yang menghemat kata.
Ketika dewan kerajaan komplain dan ingin bertemu dengan sang Raja. Louis
XIV mendengarkan mereka tanpa mengucapkan apa-apa dengan mimik paling penuh
teka-teki di wajahnya. Akhirnya setelah para utusan dewan itu menyelesaikan
presentasinya dan meminta pendapat sang Raja, sang Raja menatap mereka dan
berkata, "Kupikir dulu, ya." Kemudian ia pun pergi. Para mentri dan anggota
istana tidak akan pernah mendengar sepatah kata pun tentang topik tersebut
dari bibir sang Raja.

Di saat-saat negara sedang genting dilanda dengan multi problema, banyak
orang pandai berpendapat dan berargumen. Dengan gampang orang bersumpah
demi nama Allah bahwa dirinya bersih. Kata-kata yang telah diucapkan itu
direkam dan setiap saat jika dibutuhkan ditayangkan kembali. Masyarakat
akhirnya bisa menilai melalui kata-kata yang diucapkan tersebut. Hai, para
pemimin berhematlah dengan kata-katamu.

Merauke, 22 Februari 2011

Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: