Rabu, 28 Maret 2012

NYAMAN

NYAMAN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Waktu saya berlibur di kampung halaman, desa Playen – Wonosari – Gunung
Kidul, saya sempat meminta mbok Ngadirah menyeterikakan kemejaku yang
lusuh. Mbok Ngadirah yang adalah pembantu setia keluargaku kemudian mulai
membakar arang. Setelah beberapa saat, saya baru sadar ternyata mbok
Ngadirah ini menyeterika pakai seterika jadul (Jaman Dulu). Kemudian saya
bertanya, "Kenapa mbok tidak menggunakan seterika yang ini (listrik)?"
Jawabnya dengan polos, "Walah le, seterika ini lebih mantep, abot dan bagus
dan saya sudah senang pake ini!"

Pengalaman di atas adalah suatu pengalaman hidup dalam comfort zone. Orang
yang sudah merasa nyaman dan aman dengan dirinya akan sulit dan (bahkan)
tidak mau keluar atau hengkang dari kenyamanan tersebut. Tommy Siawira
dalam Blueprint Kesuksesan mengatakan bahwa musuh terbesar dari seorang
pemenang adalah comfort zone. Karena seseorang yang terjebak di dalamnya
akan merasa nyaman sehingga membuatnya enggan untuk beranjak dan pindah ke
keadaan yang baru. Manusia memang mudah terbuai dengan comfort zone dan
melupakan hal-hal penting yang seharusnya dilakukan. Buku tebal warna hijau
berjudul Mao Zedong, juga hendak memperlihatkan rasa nyaman yang dialami
oleh Mao Zedong (1893 – 1976) tersebut. Jika hendak mengadakam meeting, ia
tidak berpakaian resmi, tetapi hanya memakai piyama saja. Ia mengundang
para dewannya mengelilingi tempat tidurnya. Dari sana lah, Mao memimpin
rapat. Dan katanya, ide-ide meluncur dengan cepat, ketika badan dan jiwanya
terasa nyaman.

Dalam bahasa motivasi, ada istilah good is not enough, yang berarti: baik
saja tidak cukup. Seseorang berusaha meninggalkan hal yang dianggap sudah
baik dan beranjak ke lebih baik lagi, agung dan mulia. Good to great!! Hidup
di atas rata-rata, yang dalam bahasa Injil sebagai pemberian diri "lebih"
(extra mile), merupakan sikap yang melawan rasa kenyamanan. Yesus bersabda,
"Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu,
serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh
satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil" (Mat 5: 40 – 41). Dalam
kisah Gunung Tabor, juga hendak memperlihatkan bahwa Yesus hendak meretas
rasa nyaman. Petrus berkata kepada-Nya, "Guru betapa bahagianya kami berada
di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau,
satu untuk Musa dan satu untuk Elia" (Luk 9: 33). Tabernaculum, kemah, papan
merupakan tempat yang nyaman, apalagi tempatnya di atas gunung – tentu amat
sejuk dan semilir – membuat orang ingin tidur dan bermalas-malasan. Tetapi
rupanya Yesus tidak mau berlama-lama di atas gunung – madeg pandhita ratu –
melainkan harus turba (turun ke bawah) ke Yerusalem. Ia "membongkar" kemah
sebagai simbol kenyamanan dan menghadapi dunia yang penuh
intrik-konspirasi-korupsi di Yerusalem. Taruhannya adalah nyawa-Nya
sendiri. Andre Wongso dalam Audio Book, bercerita tentang Si Raja Elang.
Burung ini ketika anak-anak sudah mulai remaja, sangkarnya diobrak-abrik dan
ini "memaksa" anak-anak ini supaya tidak krasan lantas mau tidak mau harus
terbang, meskipun bulu-bulu sayapnya belum begitu kuat. Dan seandainya
anak-anak itu tidak kuat, langsung induk turun dan mengangkat anaknya dalam
kepaknya. Kita bisa belajar dari sana.

Merenungkan makna nyaman, saya teringat akan perkataan Imam Syafi'i (767 –
819), "Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan
dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup
terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam
tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang.
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah jika
tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Jika matahari di orbitnya
tidak bergerak dan terus diam. Tentu manusia bosan padanya dan enggan
memandang. Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang. Kayu
gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika didalam hutan." Apa yang ditulis
oleh Imam Shafi'i ini bagi kita merupakan "pukulan telak" bagi manusia.
Perpindahan – atau dalam syair yang selalu dinyanyikan malam Natal adalah
transeamus – merupakan pengalaman yang menyakitkan. Orang yang sudah mapan
hidupnya tidak mudah "membongkar" tempat tinggalnya dan membangun. Kata
mapan sendiri berasal dari kata papan (bhs. Jawa yang berarti: material
pembuat rumah). Kenyamanan dalam hidup, mapan, home sweet home, tentu
membuat orang merasa damai dan krasan atau at home, sehingga tidak mau
meninggalkan "istananya". Benar sekali bahasa iklan furniture, "Kursinya
empuk sampai lupa berdiri!" Rasa nyaman, memang mematikan. Orang menjadi
mandeg dan tidak mau bergerak dan berkembang. Kisah yang berjudul "Sang
Katak" mungkin bisa menjadi inspirasi, "Ada seekor katak dimasukan ke dalam
panci yang berisi air, katak tersebut tidak berusaha beranjak dari panci
dan terus berenang. Di pihak lain, secara perlahan panci tersebut
dipanasi, sedikit demi sedikit dan ketika air itu tiba-tiba menjadi panas
dan mendidih si katakpun tidak sempat melarikan diri karena sudah terjebak
dalam kenyamanan air dan akhirnya mati." Nyaman sendiri memiliki konotasi
suatu rasa aman. Orang yang merasa aman tentu tidak mau beranjak dari tempat
tersebut. Ini yang barangkali bikin pusing para uskup dan para provinsial,
tatkala harus memindahkan para pastornya dari tempat 'basah" ke tempat
"kering".

Bung Karno (1901 – 1970) – singa podium – pernah berpidato dengan mengangkat
negeri yang bernama Uttarakuru. Dalam dunia pewayangan, negeri ini dikenal
sebagai negeri yang tentang-tentram-damai. Negeri yang amat tenang, tidak
ada riak-riak sungai, gelombang, apalagi badai. Tidak ada gelengan kepala,
adanya anggukan kepala. Juga tidak ada dinamika, semuanya serba monoton.
Menyikapi negeri ini, Bung Karno berkata, "Jangan! Sekali-sekali tidak!"
Memang, kebalikan dari rasa nyaman adalah perdebatan, konflik, gejolak dan
akhirnya demo. Kata pepatah, "Laut yang tidak bergelomang tidak akan
menghasilkan pelaut yang trampil" sungguh ada benarnya.

Biasa orang yang sedang tertantang akan teringat masa-masa nyaman dan jaya.
Gunawan Muhamad dalam Catatan Pinggir (29 November 2009) menuliskan tentang
carut-marut, kehidupan gereja abad ke-16, decadency moral. Tulisnya, "Pernah
ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasaan, uang, nepotisme, jual beli
jabatan, perang, pembunuhan, dan moralitas campur baur. Itulah abad ke 16 di
Italia, ketika Paus Aleksander VI (1431 – 1503) naik Takhta Suci." Masa
jaya itulah yang ingin digenggam dan tidak mau melepaskan oleh para penguasa
Gereja pada masa itu. Rasa nyaman dan kejayaan memiliki makna yang hampir
sama. Itulah yang kita sebut sebagai triumphalistis. Orang masih ingin
mengagungkan masa-masa jaya, padahal situasi sudah berubah. Merasa diri
tinggal di puncak, kejayaan, kemuliaan memang terasa nyaman, namun orang
lupa bahwa masa-masa itu bisa bisa tumbang karena rong-rongan yang digerus
oleh waktu.

Masa keemasan amat indah jika dikenang. Belum lama ini di kota Ambon, saya
mengunjungi wisma jompo, kisah-kisah dari para penghuni itu bertaburan
kata-kata masa jaya mereka. Seringkali kata yang mucul, "Waktu saya dulu
sebagai……." Atau, "Dulu, system lembaga ini saya yang buat." Celakanya lagi
yaitu ada lembaga yang pernah jaya atau moncer. Penghargaan datang dari
mana-mana, pimpinan lembaga menjadi orang penting. Namun sayang bahwa
lembaga tersebut kurang membaharui diri, sehingga ketinggalan zaman. Luarnya
hebat, namun di dalamnya keropos. Ia lupa adagium yang berbunyi, "Ecclesia
semper reformanda" yang berarti: Gereja selalu memperbaharui diri terus
menerus, sebab kalau tidak akan tergilas oleh waktu itu sendiri. Tempora
mutantur et nos mutamur in illis, waktu itu berubah dan kita pun ikut
berubah di dalam kurun waktu itu.

Sebelum pulang ke Manado, saya jalan­-jalan di rumah bulik (bahasa
Manadonya: tante atau mama ade). Anak dari bulik saya itu lama sekali
bekerja di ibu kota sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga). Selama
bertahun-tahun, ia sudah biasa hidup dalam dunia modern.

Waktu lebaran, anak bu lik saya membeli kulkas dan ditaruh di ruang tamu.
Saya sedikit agak heran, "Bagaimana mungkin, desa ini tidak ada listrik koq
ada kulkas?" Siang itu, saya amat kehausan dan kubuka pintu lemari kulkas.
Astagfirullah, ternyata isinya baju-baju!!

Lantas, saya bertanya kepada bu lik, "Mengapa kulkas ini tidak diisi dengan
yang seharusnya?" Jawabnya, "Thole, sebab selama di Jakarta, si gendhuk ini
tiap hari menggunakan barang seperti itu loh!"

Kemudian saya berkata kepada bu lik saya yang buta huruf, "Bu lik, berarti
gendhuk ini hidup dalam comfrot zone!" Bu lik balik bertanya, "Apa itu?"
Saya pura-pura tidak mendengar, sambil menutup kulkas berisi baju-baju itu.

Skolastikat MSC, 9 Januari 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 09
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: