Minggu, 18 Maret 2012

PULANG

PULANG
(Sebuah Percikan Permenungan)

Lagu dan syair yang dilantunkan oleh Ebiet G. Ade yang berjudul, "Aku
Ingin Pulang" sungguh mengharukan hati. Kerinduan akan kembali ke rumah,
merupakan pengalaman pribadi yang kompleks. Rindu akan kamar yang dulu kita
gunakan untuk meletakkan badan jika penat, rindu berjumpa dengan orang tua
dan kakak-adik, rindu akan kamar mandi yang airnya sejuk, rindu akan halaman
rumah tempat bermain dengan teman-teman sebaya. Menyadari akan makna rumah
yang penuh nostalgia di masa kecil itu, saya menjadi ingat akan ungkapan
klasik yang berbunyi, "Rumah adalah sanctuary bagi tiap pribadi." (Kompas,
16 Juli 2011).

Rumah yang penuh kenangan itu bukan saja sebagai bentuk bangunan (a house),
tetapi rumah juga membuat hati damai, krasan dan menyembuhkan (at home).
Sebagai contoh, tatkala saya bertugas di Paroki Kutoarjo, jika dalam diriku
ada rasa tidak nyaman, pada hari Rabu pagi – waktu untuk ambulasi – saya
kembali ke Gunung Kidul. Selama sehari penuh, saya tiduran di tempat kamarku
waktu kecil dan mandi dengan air yang sama ketika masih kecil. Di rumah itu
saya bersantai-santai yang oleh Cicero ( 106 – 43 BC) dikatakan bahwa
manusia itu sebagai homo relaxus. Kerileksan itulah yang memulihkan energy
saya siap untuk berkreasi kembali. Ketika Rabu sore, kembali ke tempat
dinas, sudah sehat lagi. Rasa kangen terobati. Barangkali pengalaman pulang
ke rumah itu yang menurut istilah psikologi sebagai suatu oceanic
experience, suatu pengalaman samodra yang nyaman dalam kandungan ibu atau
dalam comfort zone. Wallahualam!

Rasa at home dalam rumah itu juga bisa kita lihat dalam diri kamar
seseorang. Pastor Gregorius Hertanto Dwi Wibowo MSC, doctor lulusan
Universitas Innsbruck – Jerman, sekarang ini bertugas sebagai dosen
dogmatic dan staf Pembina di Skolastik. Dalam sharing-nya, ia bisa
mengamati sikap hidup seseorang dari kamarnya. Ada seseorang yang amat aktif
di luar (pekerja militant, pemberi seminar dan disenangai banyak orang),
tetapi dirinya tidak at home di kamarnya, padahal kerapihan dalam kamar
pribadi itu menunjukkan pula kerapihan dalam hidupnya. Orang telah
melanglang buana "memberikan ilmunya" kepada banyak orang, kini perlu pulang
ke kamarnya untuk "mengendapkan" pengalaman-pengalaman hidupnya. Di kamar
pribadinya inilah, dia bisa berbicara dengan dirinya sendiri. Sekali lagi,
"Rumah adalah sanctuary bagi tiap pribadi". Karen Armstrong dalam Muhammad
Sang Nabi menulis, "Kita semua memerlukan sebuah tempat pribadi dalam
kehidupan kita di mana kita dapat beristirahat sejenak dari kehidupan: hal
itu membantu kita untuk memusatkan diri kita dan menjadi lebih kreatif. Di
Arab di mana seluruh kehidupan merupakan perjuangan, sanctuary merupakan
kebutuhan." Dari sana kita bisa merenungkan, betapa pentingnya kita untuk
"pulang" dan memberi tempat dan waktu yang khusus dan khusyuk untuk pribadi
kita.

Di kampung halamanku pula, ada ritual yang tidak pernah tergantikan dari
generasi ke generasi yakni pulang ke rumah (mudik). Setiap tahun, menjelang
Idul Fitri, ratusan bus dari Jakarta ber-mudik untuk pulang ke rumah.
Kepulangan mereka tidak tanpa perjuangan. Mereka harus membeli tiket (bus,
KA dan pesawat) dengan harga yang melambung tinggi dan sesampainya di
air-port, stasiun dan stamplat para pemudik harus berdesak-desakan mencari
tempat duduk. Tetapi semuanya itu dipandang sebagai ibadah yang akhirnya
bisa berjumpa dengan kerabat di kampung halaman. Di kampung halaman itulah,
mereka saling mengampuni dan memaafkan, sehingga manusia menjadi fitrah
(suci).

Menurut Pri GS, yang senantiasa "menggoda Indonesia" di Radio Smart FM
setiap Jumat Malam, pernah berbicara tentang "perjalanan ke rumah."
Pertama, adalah perjalanan ke tempat Ibadat. Dalam dirinya ada kerinduan
berjumpa dengan Tuhan. Kedua, adalah perjalanan ke tempat kerja. Dalam
aktivitas kerja, manusia mencari nafkah untuk keluarga. Yang ketiga adalah
perjalanan ke rumah. Inilah yang merupakan perjalanan yang sungguh penuh
getaran-getaran cinta. Sebab di sana ada kerinduan akan berjumpa dengan
orang-orang nyata, yaitu yang ia cintai. Homerus (850 -? BC) dalam Odyssey
melukiskan bahwa peristiwa pulang ke rumah adalah suatu petualangan yang
penuh dengan suka-duka, melewati onak-duri, tantangan-godaan, riak-gelombang
namun akhirnya menemukan kebahagiaan setelah berjumpa dengan keluarganya:
istrinya Pennelope dan anaknya Thelemachus di Ithaka. Pengalaman Odysseus
selama 10 tahun adalah sebuah petualangan spiritual (sanctuary).

Memang benar apa yang dikatakan pepatah, dalam Buku Peribahasa tulisan
Annisa Mutia "Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri" yang
berarti sebaik-baiknya negeri orang lain, lebih baik negeri sendiri.
Pemazmur menulis syair yang sangat indah untuk memaknai kecintaan pada
kampung halamannya, "Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk
sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di
tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang
yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan
orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: 'nyanyikanlah bagi
kami nyanyian dari Sion?' Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian Tuhan di
negeri asing?" (Mzm 137: 1 – 4). Di dalam rumahnya sendiri, seseorang bisa
mengungkapkan secara penuh seperti apa yang diceriterakan oleh Laura Ingall
Wilder dalam Little House on the Prairie.

Kata Pendahuluan dari salah satu buku Catatan Pinggir ditulis oleh Ignas
Kleden. Penulis mengatakan bahwa setiap penulis memiliki "rumah"-nya
sendiri-sendiri. Demikian pula dengan Gunawan Mohamad. Gaya penulisannya
sudah terpateri, sehingga tidak mungkin pulang ke "rumah lain". Peristiwa
ini juga saya amati dalam dunia burung dan kelelawar. "Rumah" Burung walet
(collacalia fuciphaga) yang terletak di kebun Wisma Lorenzo Sentrum
Kateketik – Lotta (Manado) mengajariku untuk memaknai arti kepulangan.
Burung-burung itu setiap pagi terbang dari "rumah" entah ke mana, tetapi
pada sore menjelang malam hari, mereka pulang dan masuk ke "rumah". Hal yang
sama juga saya lihat kelelawar-kelelawar (pterocarpus edulis) yang jumlahnya
ribuan, bahkan jutaan yang bergantungan di pohon-pohon di tengah laut
kepulauan Rinca (Nusa Tenggara Timur). Setiap magrib kelelawar-kelelawar itu
terbang untuk mencari makan dan menjelang subuh, mereka pulang ke "rumah"
untuk istirahat. Burung dan kelelawar akan kembali ke "rumah"-nya
masing-masing, meskipun pergi entah ke mana.

Akhir dari peziarahan kita di dunia ini adalah pulang ke rumah Bapa. Pepatah
Latin yang berbunyi, "Hodie mihi, cras tibi" yang artinya, hari ini aku,
besok kamu. Ungkapan ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa kematian
menuju rumah Bapa adalah sesuatu yang pasti. Yesus sendiri bersabda,
"Janganlah gelisah hatimu: percayalah kepada Allah, percayalah juga
kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal." (Yoh 14: 1 – 2 ).
Ketika mengadakan perjalanan di Medan, saya menemui makam-makam yang indah
nan megah di pinggiran jalan besar. Guide yang menemaniku dalam perjalanan
mengatakan bahwa anak-anak membangun makam tersebut sebagai tempat
peziarahan terakhir di dunia bagi orang tuanya. Oleh karena itu, jika
seseorang meninggal di tempat lain, keluarga berharap jenazahnya bisa
"pulang" dan beristirahat kekal di kampung halaman. Bersama Agustinus (354 –
430), mari kita mengakhiri peziarahan kita untuk kembali ke rumah Bapa,
"Engkau telah menciptakan kami untuk Diri-Mu sendiri; dan hati kami takkan
tenang sebelum beristirahat dalam Dikau." (Bdk. Confesiones 3, 6, 11).

Skolastikat MSC, 25 Juli 2011

Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Tidak ada komentar: