Senin, 26 Maret 2012

PEMBANTU

PEMBANTU
(Sebuah Percikan Permenungan)

Monumen cinta, Taj Mahal yang dibangun oleh 20.000 orang tenaga kerja dan
memakan waktu 22 tahun, hingga kini masih berdiri megah merupakan saksi
sejarah cinta juga penderitaan. Konon, setelah bangunan itu selesai
dikerjakan, Shah Jahan (1592 – 1666), memerintahkan untuk memotong jari-jari
tangan para arsitek. Ini dimaksudkan supaya mereka tidak mendirikan "Taj
Mahal" tandingan. Hal yang sama tentunya juga terjadi pada pembangunan
piramida-piramida di Mesir dan Candi Borobudur pada zaman dinasti Syailendra
( 760 – 860).

Bertold Brech, penyair Jerman yang termasyur itu pernah berkata, "Pada
malam ketika tembok Tiongkok jadi, ke manakah para tukang batu pergi? Para
tukang batu itu hilang tak tercatat. Hanya raja-raja yang tercatat. Sejarah
memang tidak adil," tulis Gunawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 25 April
1981. Tulisan-tulisan tersebut di atas, mengajak kita berefleksi tentang
para pembantu yang telah meringankan pekerjaan para majikannya.

Para pembantu di kraton Jogja dan Surakarta memiliki romantika tersendiri.
Novel "Pengakuan Pariyem"-nya Linus Suryadi, dan "Gendhuk Duku"-nya
Mangunwijaya, memberikan pelukisan tentang kepasrahan para wanita sebagai
abdi dalem. Mereka itu duduk bersila di pendapa atau di bawah pohon sawo
kecik (lambang kabecikan; bhs Jawa artinya kebaikan) di kraton, maupun yang
di makam para Raja di Imogiri. Para abdi dalem itu dalam hidupnya hanya
memiliki satu tujuan yaitu melayani sang raja. Begitu fanatiknya para abdi
dalem, sampai pernah berkata, "pejah gesang ndherek gusti" artinya hidup
mati ikut sang raja. Ungkapan, "Adoh ratu cedhak watu" yang artinya jauh
dari raja dan dekat dengan batu atau gunung melambangkan betapa besar
pengaruh sang raja bagi rakyat. Semua yang diberikan oleh sang raja dianggap
sebagai berkat. Bahkan, seandainya selir yang dihadiahkan kepada Tumenggung
di daerah pinggiran kerajaan, selir itu disebut sebagai triman, yaitu
pemberian, rahmat yang tiada taranya. Ullen Sentalu (ULating bLENcong
SEjatNE TAtaraning LUmaku), adalah sebuah museum yang menyimpan pelbagai
kisah para istri atau selir raja yang lokasinya di dekat Kaliurang. Ada
salah satu lukisan yang mendiskripsikan tentang seorang selir raja yang
hanya bisa melihat dari jarak jauh putrinya. Bahkan sang anak tidak boleh
tahu siapa ibunya. Ini semua merupakan kisah tragis "orang-orang kecil"
atau abdi dalem.

Pada zaman kuno, para raja mengangkat para sida-sida (eunuch) untuk menjadi
penjaga tempat gudik-gundik. Para sida-sida itu sudah disiapkan sejak masa
kanak-kanak di dikebiri, sehingga dirinya tidak lagi mempunyai nafsu
seksual. Para sida-sida tidak bisa lagi mengganggu para gundik raja, sebab
mereka bukan lagi pria maupun wanita. Raja-raja, seperti Salomo cenderung
memperbanyak istri dan gundik secara berlebihan (1 Raj 11: 3). Di negeri
Tiongkok sudah ada orang-orang yang khusus melayani keluarga kerajaan.
Pelayan raja ini namanya kasim (castrated). Pengorbanan sida-sida dan kasim
sungguh luar biasa. Memang ada juga kasim yang menonjol yaitu Cheng Ho
(1360 – 1433), yang masa kecilnya bernama Ma He (Bdk. "Ceng Ho" ditulis oleh
Remisilado). Laksamana Cheng Ho ini mengabdikan hidupnya secara total
kepada Kaisar Yongle, kaisar ketiga dari dinasti Ming. (Bdk. Laksamana Cheng
Ho, dalam Seri Tokoh Dunia no. 41). Di Tiongkok juga, para pembantu sebuah
kerajaan bagaikan masuk dalam "lubang hitam". Tatkala orang sudah mengabdi
sang raja, maka seluruh hidupnya dipersembahkan kepadanya. Ketika sang raja
atau permaisuri atau selir mangkat, para pembantu itu pun ikut prosesi
dalam kubur dan dimasukkan dalam makam dan ditutup batu. Mereka pun dikubur
secara hidup-hidup (Bdk. film Sun Tzu). Sadis dan ngeri memang!! Konon,
kabarnya Cleopatra (Akhir tahun 69 BC – 12 Agustus 30 BC) bunuh diri dengan
membiarkan dirinya dipagut ular kobra sebagai lambang Dewi Isis, juga
kedua pelayan wanitanya ikut tewas bersama sang ratu.

Di zaman Romawi, budak adalah mereka yang dianggap bukan manusia, karena
diperjualbelikan. Bahkan kalau budak yang membunuh majikan, maka semua budak
akan mendapat hukuman, yakni hukuman mati. (Bdk. Quo Vadis tulisan Henry
Sienkiweicz) Perdagangan budak adalah legal (Bdk. Film judul, "Spartacus").
Perbudakan juga berkembang di America, kebanyakan di perkebunan kapas (Bdk.
Novel, Gone with the wind, tulisan Margarett Michell). Tetapi kita patut
bersyukur atas pidato Abraham Lincoln (1809 – 1865) yang mengumumkan
emansipasi atau pembebasan seluruh budak di wilayah Amerika Serikat. (Bdk.
Pidato-pidato yang mengubah dunia, penerjemah Haris Munandar) dan secara
mengagumkan, perjuangan melawan segregasi dan diskriminasi rasial dipelopori
oleh Martin Luther King Jr (1929 – 1968) dengan pidatonya yang berjudul, "I
have a dream" yang disampaikan dalam sebuah unjuk rasa menuntut hak-hak
sipil di Washington DC pada tahun 1963.

Yesus menganggap para murid bukan lagi hamba, melainkan sabahat (Yoh 15:
15). Yesus menambahkan lagi bahwa seorang hamba tidak tahu apa yang
diperbuat oleh tuannya (Yoh 15: 15). Dari sinilah kita tahu bahwa Yesus amat
menghargai orang lain. Paulus dalam suratnya kepada Filemon menerangkan
betapa orang yang dulunya budak, kini menjadi saudara dalam Kristus (Flm 8
22). Di Yunani Kuno, juga ada yang namanya budak. Aesop (620 – 560 BC),
dulunya adalah seorang budak. Tetapi karena kepandaiannya menulis
kisah-kisah binatang (fable), maka dirinya dibebaskan dan menjadi penulis
kerajaan. Karena Yesus menyebut para rasul sebagai sahabat itu –
barangkali – muncul kata-kata seperti: vikaris jendral untuk pembantu uskup,
socius untuk pembantu magister, pastor rekan untuk menggantikan pastor
bantu.

Merenungkan kehidupan para pembantu, saya jadi ingat sewaktu berhadapan
dengan realita, yakni ketika saya berkunjung ke keluarga yang kaya raya.
Pembantu itu menyajikan hidangan di depanku. Setelah minuman tersedia,
nyonya itu memerintahkan tugas yang lainnya. Wajah pembantu itu pun
memelas-pasrah mengerjakan apa yang diperintahkan "tanpa perlawanan" sedikit
pun. Hal yang sama juga saya lihat dengan mata kepala sendiri, seorang
pembantu wanita dengan seragam khusus dan sering dipanggil suster itu – atau
tepatnya adalah babysitter – mengendong bayi mungil. Di sebelahnya, bapak
dan ibu muda itu makan dengan lahapnya, tanpa menghiraukan sang babysitter
yang –barangkali lapar – karena belum makan. Pemandangan inilah yang
membuat hati saya menjadi trenyuh dan terharu, betapa besar pengorbanan sang
pembantu itu. Seringkali saya juga menjadi sedih jika ada anak kecil yang
adalah putra mahkota sang majikan menyebut pembantunya dengan sebutan batur
atau babu.

Pembantu atau pelayan adalah orang yang tidak diperhitungkan, yang tugasnya
di belakang layar (backstage). Kebanyakan dari mereka bukanlah orang
terpelajar, akibatnya eksploitasi ekonomi, sosial, bahkan kekerasan fisik,
psikis dan seksual dapat mengancam kerja pembantu rumah tangga (Bdk. Kompas
dalam RI adopsi Konvensi ILO – 18 Juni 2011). Memang kita tidak boleh
menutup mata dengan apa yang dibuat oleh Pembantu RT yang pandai seperti
dalam film yang bejudul, "TKW Hongkong Rhapsody" yang dimainkan amat bagus
oleh Lola Amaria. Majikannya amat baik dan lemah lembut serta murah hati.
Saya jadi ingat pembantuku di rumah, yang bernama Harni. Ketika saya masih
kecil, dia yang momong saya. Kini dia menjadi pembantu keluarga kakakku yang
jadi tukang momong ponakanku. Barangkali, nanti kalau ponakanku punya anak,
dia akan momong anak dari ponakanku. Luar biasa! Yok kita beri apresiasi
yang tinggi, ucapan syukur, terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
pembantu kita.

Kantor "Percikan Hati", 20 Juni 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Tidak ada komentar: