Minggu, 25 Maret 2012

MUTIARA

MUTIARA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Mimpi Kino dan Juana untuk menjadi kaya karena menemukan mutiara terbesar
di dunia akhirnya kandas, setelah mutiara itu dilemparkan kembali ke dalam
laut. John Steinbecxk amat lihai dalam memainkan penanya, sehingga para
pembaca diajak untuk berdecak kagum dengan apa yang dialami oleh Kino itu
sendiri. Tulisan yang berjudul "The Pearl" dan sudah di-film-kan ini,
hendak mengajak kita betapa berharganya nilai keutuhan dan kekuatan
keluarga dibandingkan dengan "kekayaan" yang baru saja ditemukan oleh Kino.
Namun setelah mutiara yang menjadi rebutan dan pergunjingan banyak orang
itu dilemparkan kembali ke dasar samodra, hati Kino kini menjadi tenang
kembali.

Tiap orang mempunyai kelekatan yang mendasar dalam hidup ini. Karena
kelekatan itu juga manusia bisa bermusuhan bahkan saling membunuh. Memang,
sudah menjadi kodratnya bahwa sejak manusia hidup di dunia ini ada
kecenderungan untuk memiliki. Keinginan untuk memiliki dan memiliki secara
berlebihan, membuat orang lupa diri, sehingga memunculkan keserakahan yang
luar biasa. Kisah Kino di atas, sebenarnya hendak mengkritik kita bahwa
hidup yang sederhana dan menerima dengan apa yang dimilikinya adalah sikap
hidup yang baik. Dalam sejarah maupun mitologi, keinginan yang berlebihan
bisa membawa kehancuran, seperti dalam diri Raja Midas dalam mitologi
Yunani maupun dalam diri Qarun kisah dari Arab. Dari kisah Qarun tersebut,
muncul kata harta karun. Mereka sama-sama mati menggenaskan karena sikapnya
yang tamak.

Kelekatan tidak hanya terhadap barang saja, tetapi bisa juga kelekatan
terhadap relasi. Kalau seseorang menyandarkan diri pada relasi dan ingin
menguasainya, maka yang terjadi adalah kekecewaan dan cemburu karena
ternyata orang lain yang kita anggap kita kuasai ternyata memiliki relasi
dengan orang lain. Ingatkah Kisah Alexander Agung (356-323 SM), raja
Macedonia yang mempunyai hubungan khusus dengan lelaki. Namanya
Hephaistion. Dan itu pun hancur karena terjadi relasi yang tidak sehat.
Mutiara yang indah dalam persahabatan itu bisa menjadi kusam, setelah ada
indikasi bahwa persahabatan tersebut tidak tulus.
Sebenarnya, persahabatan yang tulus itu tidak mengikat melainkan
membebaskan satu dengan yang lain. Ada sebuah kisah pengalaman tentang dua
orang ibu yang sangat akrab. Kalau salah satu ada di sana, pasti yang lain
pasti juga berada di sana. Kedua orang ibu itu bersatu dan tidak pernah
terpisahkan. Kedua orang itu dalam bersahabat sungguh-sungguh tulus. Namun,
pada suatu hari, mereka berdua mempunyai ide untuk bekerja sama dalam
bisnis. Pada awalnya, bisnis berjalan dengan lancar. Tetapi lama-lama
mereka saling mencurigai. Ketidakpercayaan mulai muncul, tatkala
diperhadapkan dengan kepentingan diri sendiri.

Kembali pada novel "The Pearl" tadi, pasangan suami istri yang tadinya
harmonis, kini menjadi saling menyalahkan bahkan terjadi pembunuhan tatkala
menemukan mutiara yang besar di seluruh dunia. Kekayaan yang seharusnya
menjadi sumber kesejahteraan malah menjadi sumber kecurigaan dan akhirnya
keluarga itu menjadi terasing dari dunianya untuk mempertahankan mutiara
yang sangat berharga.

Kelekatan dengan diri sendiri juga bisa menohok pada emosi kita. Orang yang
memiliki rasa gengsi tinggi atau arogan, sulit untuk bersikap rendah hati.
Novel Biografi berjudul "The Perfect Joy of St. Francis" tulisan Felix
Timmermans mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan sejati itu terwujud
kalau seseorang rela melepaskan pangkat dan jabatan untuk melayani orang
lain. Dalam kisah itu, St. Fransiskus (1181 – 1226), menjadi orang yang
lepas bebas tidak melekat dengan seseorang maupun sesuatu. Ia membuang
mutiara dan ia hidup dalam kemiskinan yang radikal. Orang yang takut
membuang mutiaranya, bagaikan kisah dari Afrika berikut ini. Pada waktu
itu, pemburu-pemburu ingin mendapatkan kera yang bertengger di pohon. Untuk
menangkap binatang tersebut, seorang pemburu menyediakan kacang di dalam
toples. Karena kera itu rakus, maka kera mengambil kacang dalam toples
sampai-sampai karena tangannya penuh dengan kacang, maka sulit untuk keluar
dari toples tersebut. Begitulah, para pemburu dengan mudah menangkap kera
tersebut.

Bukankah dalam hidup ini, kita membawa 2 beban. Beban di depan berisi
tentang kecemasan-kecemasan hidup yang akan datang. Sedangkan tas yang kita
bawa di belakang berisi tentang pengalaman masa lalu yang senantiasa kita
ingat karena kesalahan-kesalahan yang pernah kita alami. Inilah yang
membuat hidup ini terasa berat. Bahkan ada orang yang mempunyai
kecenderungan untuk masuk dalam dunianya sendiri yang penuh dengan
penderitaan. Kesenangan semacam disebut juga sebagai mashochisme. Orang
yang sudah terlena dengan kemapanannya (esthablished), tidak mau mengalami
dunia yang lain. Kemapanan atau stagnasi dalam kehidupan kita yang penuh
dengan tantangan dan pembaharuan bisa menimbulkan manusia-manusia kerdil
pikirannya. Dalam dunia yang serba canggih, tehnologi sudah menjadi makanan
sehari-hari, sehingga orang yang tidak menguasai informasi bisa tergilas di
dalamnya. Jargon "menguasai informasi berarti menguasai dunia" mendapatkan
kebenarannya. Untuk berkembang dalam bidang ini, mutiara-mutiara yang
dibuang adalah rasa gatek (gagap tehnologi) dan berani melangkah maju ke
depan meski banyak tantangan. Membuang mutiara dalam hidup ini bukan
pekerjaan yang mudah, karena harus ada kesiapan mental yang kuat. Kita
bagaikan masuk dalam perang kehidupan. Kemenangan akan terjadi, jika kita
sungguh-sungguh berani membuang sesuatu yang bernilai dalam hidup kita,
tetapi yang menghambat untuk perkembangan pribadi. Oh, mutiara-mutiara.

Merauke, 13 Februari 2011

Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: