TELATEN (Kontemplasi Peradaban)
Gutta cavat lapidem, non vi sed saepe cadendo” – tetesan air melubangi batu bukan karena kekuatannya tetapi karena tetesan-tetesannya yang terus-menerus.
Waktu jalan-jalan di Fort Rotterdam – Makassar, saya sempat melihat penjara yang dulu digunakan untuk memenjarakan Pangeran Diponegoro (1785 – 1855). Saya mengulik tempat sang pahlawan itu disiksa dalam bui. Dari sana pula, pikiran saya “terbang” ke negeri menara Eiffel, Prancis pada zaman Napoleon.
Dalam anganku, teringat dengan jelas kisah seorang narapidana yang bernama Charney. Ia dituduh sebagai penjahat kelas kakap dan berdarah dingin. Namun dikisahkan bahwa Charney di dalam penjara sangat telaten merawat bunga. Ia sangat care.
Kabar mengenai hal ini sampai ke telinga Yosephine, istri Napoleon. Lantas dia berkomentar, “Orang yang begitu telaten dan penuh kasih memelihara bunga, tak mungkin bahwa orang tersebut adalah penjahat kelas kakap”. Napi itu akhirnya dibebaskan dengan syarat.
Cerita di atas tadi, sebenarnya kisah tentang “ketlatenan”. Kata tlaten yang di dalamnya mengandung arti aten itu juga berarti: hati atau perhatian. Tlaten juga mengandung arti: teliti. Dari sana pula, kita bisa membayangkan, betapa hebatnya makna “telaten” itu.
Itulah sebabnya, dalam perusahaan – ketika rekrutment – seorang yang telaten lebih dipilih daripada karyawan yang smart. Tidak heranlah jika Ibu Teresa Calcutta (1910 – 1997 ) berkata, “Kita mungkin tidak bisa melakukan hal besar. Tetapi kita bisa melakukan hal kecil dengan cinta yang besar”. Ketelatenan seorang karyawan mampu membesarkan perusahaan.
Hal yang sama – barangkali – diucapkan oleh Paulo Coelho (Lahir di Rio de Janeiro 24 Agustus 1947) dalam bukunya yang berjudul, Manuskrip yang ditemukan di Accra, “Pahlawan sejati bukanlah orang yang terlahir untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar, melainkan dia yang berhasil membangun tameng kesetiaan di sekitarnya dari sekian banyak hal kecil yang demikian. Sewaktu dia menyelamatkan musuhnya dari kematian atau pengkhianatan, pertolongannya tidak akan dilupakan sampai kapan pun.”
Siapa pun orangnya lebih senang bersahabat dengan orang yang telaten. Mereka lebih teruji jika menghadapi masalah maupun tantangan. Kasus ini pula lah yang dialami oleh Paulus.
Titus adalah kawan di waktu yang tidak menyenangkan dan sulit. Ketika Paulus memenuhi kunjungannya ke Yerusalem, ke Gereja yang mencurigainya dan siap untuk tidak memercayai dan tidak menyukainya, maka Tituslah yang diajaknya besama-sama dengan Barnabas (Gal 2: 1). Seperti itulah Titus. Ketika Paulus berusaha mengatasi suatu masalah, Titus ada di sampingnya.
Rabu, 6 Juli 2016
Markus Marlon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar