AJAL (Kontemplasi Peradaban)
“Matiya kanthi mati patitis” – matilah dengan kematian yang sempurna (Peribahasa Jawa).
Belum lama ini saya layat ke orang yang sudah sekarat. Tiba-tiba salah seorang ponakan berkata, “Tante sudah di ambang ajal”.
Dalam situasi demikian, seorang yang sekarat tidak bisa berbuat apa-apa – dalam istilah Jawa – disebut sebagai, “Nawa angga lupa” – kesembilan berhias lupa. Manusia yang memasuki masa menjelang ajal, mencapai angkal nol, kosong, tidak berangan-angan lagi kecuali maut.
Kami mengelilingi seorang ibu yang lunglai terbujur di pembaringan. Kami melihat nafasnya satu – satu. Tidak lama kemudian, ajal pun menjemputnya. Mengharukan, “ “Requiescat In Pace” – Semoga ia beristirahat dalam damai (Mzm 4: 9).
Kata ajal berasal dari kata Arab, “ajalu” yang berarti kematian. Allah Swt berfirman, “Tiap-tiap umat memunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun tidak dapat (pula) memajukannya” (QS al-A’raf [7]: 34).
“Death is the great leveller” – kematian menciptakan kesetaraan. Ketika mati, manusia melepaskan semua atribut duniawinya: pangkat, derajat, jabatan, harta dan kedudukan.
Kehidupan dan kematian memang rahasia Allah, tak seorang pun yang tahu apa yang dilahirkan kehidupan dan tak satu pun mengira siapa yang menjemput kematian dan ajal memang tak ubahnya seperti tagihan utang. Ajal datang tak bilang-bilang.
Peribahasa Indonesia mengajarkan, “Sebelum ajal, berpantang mati” maknanya: jangan takut mati karena ajal adanya di tangan Tuhan, bertobatlah sebelum ajal menjemput. Peribahasa Inggris mengajarkan, “Cowards die many times before their deaths” – Penakut mati berulang kali sebelum kematiannya. Penakut selalu membayangkan dirinya berada pada titik kematiannya saat menghadapi bahaya. Mereka berulang kali merasa mau mati.
Ada raja yang tidak takut mati yaitu Raja Louis IX (1214 – 1270). Sang Raja Prancis yang saleh ini mendapat gelar Santo (orang kudus) dan sangat disayangi rakyatnya. Pada suatu hari, ia menceriterakan rahasia keberhasilannya sebagai raja yakni bahwa sebagai seorang Kristen ia tidak takut terhadap apa pun dan siapa pun, termasuk kematian. Hal itu dialaminya setelah ia mendirikan sebuah bangunan di tengah-tengah istananya, tempat ia menguburkan jasad-jasad leluhurnya. Tempat itu begitu strategis sehingga ia bisa melihat dari tempat tidur. Dia juga telah membangun bagi dirinya sebuah makam tempat dirinya akan dibaringkan apabila ia wafat. Dengan demikian setiap hari ia berhadapan dengan kematian.
Selasa, 16 Februari 2016
Markus Marlon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar