Selasa, 12 Juli 2016

Maki-maki

MAKI-MAKI (Kontemplasi  Peradaban)

Jika kita mamaki-maki badai, maka jangan berharap bisa berlayar dengan mulus (P.D. Sullivan).

Ketika saya sedang berjalan-jalan dengan mobil sewa menuju Bontang dari Samarinda (Kalimantan Timur)  beberapa bulan yang lalu, tiba-tiba seorang tukang parkir  di depan tempat penginapan, memaki-maki  driver yang saya tumpangi, “Bodoh, tidak tahu peraturan lalu-lintas. Babi lu!”

Sekilas saya  memandang wajah sang driver, namun  nampaknya dia tenang-tenang saja. Lantas saya bertanya, “Bapak tidak marah, dikata-katai seperti itu?” Dia pun menjawab, “Untuk apa marah, karena saya tidak tahu siapa dia. Anggap  aja angin lalu!”

Kemudian driver itu pun menambahkan, “Jika saya kenal orang itu, maka apa yang dikatakan orang itu terhadap saya merupakan “kekerasan verbal” yang tentu akan menusuk hatiku.  Dalam hati saya berkata,  “Kalau saya dimaki-maki orang – entah kenal maupun tidak kenal – akan terasa di hati, “Sakitnya  tuh di sini!”

Di mana pun juga, memaki-maki adalah tindakan tercela. Christine Huda Dodge  dalam bukunya yang berjudul, “Memahami  Segalanya  tentang Islam” melukiskan bahwa mengumpat atau memaki-maki sesama itu  tidak disukai oleh Allah. Ada seseorang yang memberi laporan kepada sang Nabi bahwa ada orang yang memaki karena orang tersebut sangat jengkel.  Nabi Muhammad berkata, “Jika yang kalian katakan tentang seseorang itu memang benar, maka itu berarti kalian telah mengumpatnya dan jika tidak benar, maka kalian telah memfitnahnya.”

Maki-makian yang dilontarkan bisa membuat hati ciut.  Dalam novelnya yang berjudul, “David Copperfield”  Mark Twain (1835 – 1910) sengaja  melukiskan bagaimana maki-maki yang ditujukan kepada sang tokoh utama tersebut sangat berpengaruh. Copperfield  pada akhirnya menjadi anak yang tidak percaya diri dan pribadinya pun tidak seimbang.  Benar, jika kita memaki-maki orang, ternyata tidak semua yang berlapang dada. Ada yang cuek bebek, ada yang jadi pikiran terus-menerus sampai dibawa di tempat tidur.  Ya, karena makian tadi.

Kahlil Gibran (1883  – 1931)  dalam bukunya yang berjudul, “Renungan tentang Jalan Jiwa” menulis, “Olok-olok itu lebih kejam daripada pembunuhan”. Atau dalam buku yang lain dengan judul, “Tears and laughter”  Gibran berpuisi, “Para pengikut Yesus dari Nazaret dan dan para murid Socrates adalah orang-orang yang tahan bantingan dengan cercaan, olok-olokan dan fintah. Pribadi-pribadi yang matang jika diolok-olok, dimaki-maki – meskipun katanya lebih pahit daripada pembunuhan –  tidak akan goyah dan kecut hati.”

Rabu, 30 Maret 2016  
Markus Marlon

Tidak ada komentar: