Senin, 18 Juli 2016

KONTROL (Kontemplasi Peradaban)

“Vincit qui se vincit” – Pemenang adalah orang yang dapat mengalahkan dirinya sendiri.

Medio Februari 2016, saya jalan-jalan di Kutai Kartanegara – Kalimantan Timur, sebuah kota yang indah dan memesona. Sang sopir, sekaligus tour leader selalu mengontrol mobil yang mengangkut kami. Di sela-sela perjalanan, ia menerangkan bahwa dalam hidup kita ini harus senantiasa dikontrol. Katanya, “Kontrol kesehatan, kontrol penggunaan keuangan, sampai pada kontrol emosi.”

Sejarah telah membuktikan bahwa karena tidak adanya kualitas hidup yang baik atau terkontrol, maka Alexander Agung (356 – 323 seb.M) “jatuh”. Di tengah-tengah kemabukan dan percabulan, Alexander tidak dapat mengontrol dirinya. Ia mencabut tombaknya dan membunuh temannya yang paling akrab. Alexander Agung memang agung karena di usia yang sangat muda, ia sudah memiliki kekuasaan yang luar biasa. Hanya patut disayangkan bahwa dirinya pada saat tertentu tidak bisa menguasai dirinya.

Kitab Amsal menulis, “A man who controls his temper than one who takes a city” – orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota (Ams 16: 32 b). “Compesce mentem” – Kuasailah nafsumu. Dalam arti ini, Rasulullah SAW mengajarkan, “Orang kuat itu bukan orang yang menang gulat, tetapi orang yang  kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya pada saat (yang memungkinkan) ia marah” (HR Bukahri-Muslim). 

Setiap saat kita berusaha untuk hidup harmonis dengan sesama. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa itu tidak mudah. Dalam bukunya yang berjudul, “Sermon”  Agustinus (354 – 430) berkata, “Pertentangan berjalan terus di dalam dirimu sendiri. Engkau tidak memerlukan musuh di luar. Kalahkan dirimu sendiri dan engkau telah mengalahkan dunia.” 

Dus, kita menjadi percaya bahwa setiap detik, kita berhadapan dengan kontrol diri. Kata-kata emas bahasa Jawa menulis,  “Lauwamah amarah supiyah muthmainah” –  makanan, amarah, seksual, kesucian. Perlambang empat nafsu manusia. Tiga nafsu pertama yakni suka makanan enak, suka marah dan suka kenikmatan dan seksual jika sudah berhasil dikendalikan maka manusia baru akan mencapai ketenangan dan kesucian diri.

Mungkin kita masih ingat kisah pewayangan dengan judul,  “Begawan Ciptaning  menerima senjata pasopati”. Paso atau phasu memikili makna hewan. Selanjutnya pati berarti mati. Dengan demikian, pasopati bermakna nafsu hewani yang telah binasa di dalam jiwa manusia. Sebab itu, Begawan Ciptaning yang telah mendapat anugerah panah pasopati itu bisa menaklukkan lima sifat hewani yang berada di dalam jiwanya.  Kita juga memiliki kelima nafsu itu dalam diri. Tidak mudah mematikan nafsu-nafsu tersebut.

Dan akhirnya, kontrol diri itu  pertama-tama seharusnya dimiliki oleh para pemimpin, karena mereka yang memegang tampuk pemerintahan. Oleh karena itu, calon pemimpin harus bisa berpuasa (menahan diri) dari godaan nafsu al-takâstur (menimbun dan menguasai) yang tidak ada hasilnya, hingga masuk ke liang lahat. 

Tidak heranlah jika seorang pemimpin sangat rentan dengan godaan, maka tidak salah jika orang-orang Jawa menulis, “Ya marani nira maya” – dalam mendekati hal-hal yang maya perlu hati-hati.  Hal yang maya, termasuk di dalamnya setan yang sering menggoda pemimpin amat berbahaya.

Manakala pemimpin mampu menaklukkan setan berarti mampu menguasai hawa nafsunya. Baik setan maupun hawa nafsu adalah musuh tersamar seorang pemimpin. 

Jumat, 26 Februari 2016   
Markus Marlon

Tidak ada komentar: