KEBENARAN (Kontemplasi Peradaban)
Dicit ei Pilatus, “Quid est veritas?” – Kata Pilatus kepada-Nya, “Apakah kebenaran itu” (Yoh18: 38)
Pernah suatu kali, saya diomongin orang bahwa saya ini bla-bla-bla. Dalam hati saya berkata, “Setiap orang berhak berbicara dan nanti kebenaran yang akan berbicara!” Orang Jawa memiliki pepatah, “Becik ketitik ala ketara” – yang baik kelihatan dan yang buruk pun akan kelihatan. Setelah berjalannya waktu, orang yang memfitnahku pun datang dan meminta maaf, “Nihil est veritatis luce dulcius” – Tak ada yang lebih manis daripada sinar kebenaran.
Di mana-mana, kebenaran akan menang, meskipun untuk mencapainya banyak sekali halangan. Apalagi jika upaya untuk mencapai kebenaran itu bersangkut paut dengan kehormatan. Selang beberapa waktu ternyata kebenaranlah yang “menang”. Memang, “Veritas premitur non opprimitur” – kebenaran dapat ditekan tetapi dia tidak akan dapat dihancurkan.
Mungkin kita pernah mendengar tokoh sosok yang bernama Copernicus (1473 – 1543) seorang ilmuwan, astronom dan ahli matematika. Masterpiece-nya yang berjudul, “Revolutions of Heavenly Bodies” menghebohkan dunia khususnya gereja. Pada abad ke -16, ia menemukan teori bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Bumilah yang mengelilingi matahari. Dan setelah itu, astronom itu pun wafat.
Teori itu diakui oleh Galileo Galilei (1564 – 1642) astronom kelahiran Italia. Bahkan ia mengakui di depan umum. Pada 1616, ia dipanggil untuk diperiksa di Roma dan keyakinannya pun dikutuk. Lantas, apa yang disampaikan Copernicus dan Galileo pun disanggah.
Sanggahan itu bunyinya demikian : “Dalil pertama bahwa matahari adalah pusat dan tidak mengitari bumi adalah bodoh, tidak masuk akal, secara teologis keliru dan sesat karena bertentangan dengan Kitab Suci. Dalil kedua, bahwa bumi bukan pusat tetapi mengitari matahari adalah tidak masuk akal, secara filosofis keliru dan paling tidak dari sudut pandang teologi bertentangan dengan iman yang benar.”
Galileo mengalah. Lebih mudah menyesuaikan diri daripada mati dan selama bertahun-tahun ia tetap diam. Ternyata Copernicus dan Galileo lah yang benar. Namun – konon – gereja baru minta maaf setelah 200 tahun kemudian.
Orang-orang dan lembaga, bahkan gereja bisa saja membungkam kebenaran bahkan memenjarakan orang yang membawa kebenaran itu. Andrew Melville (1545 – 1662) , teolog Skotlandia mengatakan, “Anda tidak berkuasa mengasingkan kebenaran.” Tidak ada orang yang menderita hukuman karena gagasannya.
Orang-orang yang memiliki hati lurus, ditakuti banyak orang. Ia difitnah tetap tenang. Ia dipenjarakan, tetap teguh dan ketika digiring ke pembantaian pun, ia pun tidak melawan. “Quo res cumque cadunt, semper stat linea recta” – apa pun yang terjadi, senantiasa berdiri di garis lurus.
Setelah mengontemplasikan makna kebenaran, saya menjadi ingat akan orang yang memfitnah saya beberapa tahun yang lalu. Kebenaran itu dapat saja diserang, ditunda, ditekan dan diolok-olok, tetapi ingat bahwa waktu akan membuat perhitungan pembalasannya dan akhirnya kebenaran akan menang. Orang harus berhati-hati agar ia tidak berperang melawan kebenaran, “Vincit Omnia veritas” – kebenaran menaklukkan semuanya.
Jumat, 12 Februari 2016
Markus Marlon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar