Kamis, 16 Juni 2016

Terlalu Risau

TERLALU RISAU(Kontemplasi  Peradaban)

“Haud timet mortem qui vitamsperat” – yang berharaphidup tidak akan takut mati.

Bulan lalu, 29 April 2016 saya naik  speed  “CB Limex Permai” dari Tarakan ke Tanjung Selor.  Saya duduk satu deretan kursi dengan seseorang yang mengaku  diri orang Nunukan (Kaltara) asli. Selama dalam perjalanan, ia bercerita banyak tentang menjaga kesehatan. Di bercerita bahwa dirinya sakit. Ia membawa payung agar tidak kena titik-titik air, di sakunya ada minyak wangi “cap lang” dan dia senantiasa membawa menu yang harus dimakan setiap harinya.  Dia berkata, “Kita harus sehat, maka setiap detik kita harus menjaga hidup kita sedetail mungkin!”

Lantas saya berpikir, “Orang ini terlalu hati-hati”. Yang namanya “terlalu” itu tidaklah baik.  Misalnya seperti, terlalu rajin, terlalu suci, terlalu baik dan “terlalu-terlalu” lainnya. Orang tadi sungguh-sungguh menjaga kesehatannya sampai terlalu risau.  Ia terlalu strict dengan diet dan karena hidupnya tidak tenang maka tidur pun tidak nyaman.

Pepatah Latin berbunyi, “Non curator  qui curat” – yang selalu risau (justru) tidak mudah sembuh.  Peribahasa Inggris Sehari-hari menulis, “Laugh and grow fat” – tertawalah, Anda akan sehat dan gemuk. Peribahasa ini menasihatkan agar orang selalu gembira, banyak tertawa dan tidak selalu serius. Atau Amsal menulis, “A cheerful heart is good medicine” – Hati yang gembira adalah obat yang manjur” (Ams 17: 22).

Kisah tersebut di atas, mengingatkan saya akan seorang pemuda galau,  seperti yang dikisahkan oleh Dale Carnegie (1888 – 1955) dalam bukunya yang berjudul, “Petunjuk Hidup Tentram Dan Bahagia”.  Pemuda itu divonis dokter bahwa umurnya tidak panjang. Dalam waktu tiga bulan, akhirnya memutuskan untuk hidup “hura-hura” karena  toh hidupnya tidak terlalu lama lagi. Dia mulai tidak risau dengan apa yang dimakan. 

Dia pergi dengan kapal pasiar dan tidak risau dengan angin malam. Dan ternyata, seturut berlalunya waktu, pemuda itu pelan-pelan malah sembuh, “miracle!” Pemuda itu – seperti yang dikisahkan Carnegie – menjadi pribadi yang periang dan tidak pernah risau lagi. Itulah yang menyembuhkan.

Kata “risau” sendiri berasal dari bahasa Minangkabau, “rěsau” yang berarti: gundah. Kerisauan memang sering kita alami. Kita risau menghadapi sesuatu yang belum pasti. Hati menjadi “ciut” jika berhadapan dengan sesuatu yang belum pasti. Dan seolah-olah “sesuatu” itu lebih besar daripada diri kita. Ibarat, bayangan kita sendiri ketika jam 15.00 sore. Bayangan itu besar sekali, sebesar kerisauan kita. Hati menjadi gundah.

Senin, 9 Mei 2016  Markus Marlon

Tidak ada komentar: