MUDIK (Kontemplasi Peradaban)
“Ubi bene ibi patria” – di mana aku merasa enak di situlah tanah airku (Cicero).
Ketika ngangsu kawruh di Kawah Condrodimuka Seminari Mertoyudan – Magelang (sekitar tahun 1082-n), setiap sore hari saya merasa rindu kampung halaman. Suara adzan itulah yang mengingatkanku atas surau di samping rumahku. Inilah yang membuatku menjadi rindu mudik, “homesick”. Kata bijak menulis, “Suavis laborum est praeteritorum memoria” – mengenang masa-masa yang lalu itu menyenangkan.
Menurut orang Spanyol, kata rindu mudik disebut sebagai “el mal de coras” yang artinya sakit hati. Kita teringat akan kampung halaman, teringat orang tua dan terkenang masa-masa yang indah waktu kecil. Tetapi jujur, kita tentu rindu, “Waoou fantastic, It’s wonderfull. If we wanna to remember our childhood”.
Kebanyakan orang tentu ingin bernostalgia. Memang, arti dari nostalgia itu sendiri adalah rindu masa lampau. Notos = kembali dan algos = sakit atau rindu. Homesick itu dalam bahasa Inggris, Jermannya heimweh. Weh = sakit dan Heim = rumah, heimat = tanah air. Kata Heim itu sendiri diserap dari bahasa Jerman Kuno Heimoti artinya surga.
Jadi memang benar kata orang bahwa “rumahku, istanaku!” atau “Rumahku, surgaku!” Saya jadi ingat lirik lagu “Rumah Kita” dari God Bless :Hanya bilik bambuTempat tinggal kitaTanpa hiasan, tanpa lukisanBeratap jerami …
Intinya adalah bahwa kampung halaman itu sungguh indah, meskipun – barangkali – di tempat kelahiran kita serba terbatas, namun semuanya menyenangkan hati. Pepatah Latin menulis demikian, “Rusticus exspectat dum defluat amnis” – orang desa menantikan sungai mengalir. Maknanya adalah orang itu akan selalu merindukan rumahnya sendiri.
Memang benar bahwa mudik itu menyenangkan. Mudik dipahami sebagai perjalanan ke hulu. Oleh karena wilayah hulu itu jauh di pedalaman, terpelosok di lereng-lereng perbukitan, maka istilah udik mengacu pada daerah pedesaan atau perdusunan. “Yok kita mudik!”
Senin, 11 April 2016
Markus Marlon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar