Senin, 13 Juni 2016

Perjumpaan

PERJUMPAAN  (Kontemplasi Peradaban)

Akhir April 2016, saya menginap di Biara OMI (Oblati Mariae Immaculatae) di Tarakan (Kaltara). Biara yang indah bak rumah dalam film Harry Potter. Banyak orang datang untuk sekedar foto atau bahkan untuk pre-wedding.
Waktu itu ketika menunggu makan pagi, seusai merayakan Ekaristi di biara, saya membaca booklet yang diterbitkan Komisi KOMSOS KWI dengan tema: “Perjumpaan yang Memerdekan”. Sejenak saya membaca booklet kecil yang mewah itu dengan cover yang penuh inspirasi.  Dari sana pula, saya mencoba merefleksikan apa itu “Perjumpaan”.
Suatu hari pada suatu masa, saya berjumpa dengan seseorang yang mengeluh demikian, “Mengapa yah saya ini kalau berjumpa dengan orang itu rasa muak, seperti tidak ada cemestry-nya gitu! Tetapi kalau ngomong-omong dengan orang lain, rasanya nyaman gitu!” 
Memang sebagai makhluk sosial, kita setiap saat mengadakan perjumpaan dengan pelbagai kalangan. Ada yang menyebalkan, ada pula yang  biasa-biasa saja, ada yang membuat hati sejuk dan akhirnya ada yang menghidupkan, symbiosis mutualism. Ini yang oleh John Powel  dalam Betapa Indah Hidup Ini, dikatakan sebagai self-giving relationship, sebuah relasi yang saling memberikan. Dalam perjumpaan yang disertai dengan berbagi pengalaman (sharing), masing-masing pribadi merasa dikuatkan untuk melangkah.  Perjumpaan yang menghidupkan ini nyata dalam diri Maria dan Elisabet (Luk 1: 39 – 45). Roh bertemu dengan roh. Maria berseru dengan suara nyaring dalam Magnificat!  Dalam kidung tersebut, masing-masing orang  mengungkapkan apa yang menjadi keunggulan atau kelebihan dari sahabat berbagi rasanya dan akhirnya tertuju kepada Tuhan, “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku” (Luk 1: 46). BJ Habibie dalam Habibie & Ainun menulis, “Memang benar di belakang seorang pria yang berhasil berperan selalu seorang wanita, dalam hal ini isteri saya Ainun, yang lebih berhasil” (hlm. 153). Kita menjadi ingat akan kata-kata yang disampaikan oleh Albert Einstein (1879 – 1955), “Orang-orang yang dangkal membicarakan tentang orang-orang, orang-orang biasa membicarakan tentang peristiwa-peristiwa dan orang-orang luar yang dalam, membicarakan tentang ide-ide.”  Di sini kita bisa melihat bagaimana orang yang memiliki sikap hidup yang negatif (negative thingking) dan sikap hidup yang positif  (positive  thingking). Mereka yang pikirannya dipenuhi dengan hal-hal negatif akan banyak memunculkan kata-kata: ketidakpuasan, keluhan-keluhan, dan masalah-masalah yang dihadapi. Sedangkan mereka yang pikirannya dipenuhi dengan hal-hal positif akan banyak memunculkan kata-kata: konstruktif, puji-pujian dan pemecahan masalah, solution.Dalam perjumpaan yang menghidupkan itu, seseorang akan merasa terdukung. Ignatius Loyola (1491 – 1556)  dalam “masa-masa gelapnya” amat bersyukur memiliki teman bicara yang amat mendukung yaitu kakaknya sendiri, Martin. August Darleth dalam Pahlawan dari Loyola menulis, “Terima kasih Martin. Engkau dan isterimu yang baik budi telah merawatku dengan baik, lebih dari apa yang dapat diharapkan setiap orang. Aku bukan seorang pasien yang baik, tetapi banyak hal yang membuat aku sangat berterima kasih, tetapi yang terutama, di samping kebaikan budimu, adalah kesempatan membaca kedua buku itu yang telah membuka mataku ke arah dunia yang lebih luas” (hlm. 25).
Di sini pula, kita bisa merefleksikan oleh  Cicero (106 – 43 seb. M), nama lengkapnya: Marcus Tullius Cicero  dalam De Amicitia  menulis, “Vera amicitia est inter bono” – persahabatan sejati hanya terjadi di antara orang-orang yang tulus.  Perjumpaan-perjumpaan yang menghidupkan ini, hanya dapat terjadi jika satu sama lain, memiliki ketulusan hati. Jika salah seorang berbuat salah, maka ditegur empat mata, “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia” (Luk 17: 3). Publilius (penulis Latin yang berasal dari Syria dibawa ke Italy sebagai budak , tetapi dihargai karena kecakapannya dalam bidang sastra) menulis, “secreto amicos admone, lauda palam” – tegorlah sahabat-sahabatmu di bawah empat mata (secara diam-diam), namun pujilah mereka secara terbuka.  Tentu saja ini suatu perjumpaan yang menyejukkan dan menghidupkan. Dalam masing-masing pribadi ada “self-giving love” – sebuah pemberian diri yang dijiwai oleh cinta. Suatu pemberian diri atau pengabdian total semacam ini tidak dapat dibeli dengan uang atau ditukar dengan kekuasaan.

Jumat, 6 Mei 2016  Markus Marlon

Tidak ada komentar: