Selasa, 23 Desember 2014

Tongkat

TONGKAT
(Kontemplasi  Peradaban)
 
"Tongkat ini adalah tanda otoritas Musa"
(Scott Hahn,  dalam bukunya yang berjudul,
 "Seorang Bapa yang Setia pada Janji-Nya" hlm. 153).
 
          Dunia perfilman Indonesia  saat ini, sedang di-geger-kan oleh Ifa Isfansyah (Lahir di Yogyakarta, 16 Desember 1979)  sutradara yang menciptakan film  berjudul,  "Pendekar Tongkat Emas". Sinopsis film ini dibuka dengan pergulatan perasaan guru Cempaka yang merasa bahwa sudah saatnya mewariskan ilmu andalannya,  "tongkat emas melingkar  bumi" kepada anak asuhannya. Tidak berbeda dengan cara estafet kepemimpian di sebuah lembaga, pikiran kita pun cenderung mengatakan bahwa orang yang akan menerima tongkat estafet haruslah mereka yang terhebat, mumpuni dan kompeten.
          Tongkat adalah kata-kata yang biasa. Ada tongsis (tongkat narsis), tongkat gembala, tongkat Musa, tongkat mayoret dan  tongkat komando. Tongkat dalam dunia pewayangan (Ramayana dan Mahabharata) dipakai untuk perang tanding. Tongkat tersebut  bentuknya "menggembung".  Perang tanding antara Doryudana dan Bima yang melegenda itu,  dua-duanya menggunakan "tongkat" dengan nama masing-masing: gada wesi kuning dan gada rujak polo  (Bdk. Kitab Mazmur 23: 4,  "Gada-Mu dan tongkat-Mu yang menghibur aku…"). Konon juga pernah diceriterakan ada tongkat komando dari sang Jendral yang sering patah karena sering digunakan untuk memukul para prajuritnya.
          Sebuah tongkat baru  memiliki makna tatkala dipegang  oleh orang yang memiliki otoritas. "Tongkat emas"  milik guru Cempaka, jika dipegang oleh orang yang tidak memiliki jurus "tongkat emas melingkar bumi" tentu akan menjadi tongkat biasa saja. Atau seperti  tongkat komando yang sering dipegang sang jendral sewaktu  upacara – (ketika dipegang oleh istrinya di rumah)  – maka, ia  tidak memunyai  bobot apa-apa. Tongkat atau  stick conductor  baru memiliki makna jika digunakan di depan para pemain orkes (pemegang alat music dan partiture)  yang telah dilatihnya.
          Tongkat, bagaikan  barang magis yang mampu menyihir orang-orang untuk mengikuti aba-abanya. Tidak heranlah jika setiap bawahan  "bermimpi" dan bercita-cita  untuk  mendapatkan "tongkat kepemimpinan" dari sang boss. Itulah sebabnya,  – konon –  Napoleon Bonaparte (1769 – 1821)  setiap latihan perang selalu berkata, "Hai para prajurit, simpanlah dalam setiap ranselmu sebuah tongkat komando, sebagai motivasi, bahwa suatu saat nanti kalian juga akan memegangnya!"  Setiap prajurit  atau  kroco sekalipun, berpotensi menjadi  comandant  karena pegang tongkat komando.
          Para raja – ketika duduk di singgasana – senantiasa memegang tongkat.  Zeus sebagai penguasa langit  dilukiskan sebagai raja yang memegang tongkat petir. Kristus Raja Semesta Alam  dilukiskan Yesus dengan mahkota dan tangan kiri-Nya memegang tongkat komando. Namun dalam  lukisan "Yesus gembala yang baik,"  Yesus dilukiskan  memegang  tongkat gembala dengan tangan kanan dan tangan kirinya adalah domba kecil atau lemah.
Akhirnya, "tongkat estafet" memiliki sejarahnya sendiri. Awalnya tongkat estafet dimulai dari bangsa Aztec, Inka dan Maya yang bertujuan untuk meneruskan berita yang telah diketahui supaya berita itu menyebar seantero  negeri. Lantas, di Yunani kuno, istilah  estafet yang kemudian dinamakan "estafet obor"  diselenggarakan dalam hubungannya dengan pemujaan leluhur serta untuk meneruskan api keramat ke jajahan-jajahan baru. Selanjutnya, tongkat estafet diterapkan dalam regenerasi pada kepemiminan (succession).  Ketika Yesus berkata kepada Petrus, "Gembalakanlah domba-domba-Ku"  – barangkali – sebagai tanda bahwa Petrus akan menerima "tongkat estafet" dari Yesus (Bdk. Yoh 21: 16).  Alexander Agung (356 – 323 seb. M) sewaktu sekarat, ditanya oleh para jendralnya, "Siapa yang menggantikan tongkat estafet sang Raja" Dia berkata,  "Orang yang terkuatlah yang akan memegang tongkat komandoku."
Dalam kepramukaan, jika  mengadakan kegiatan  "mencari jejak"  atau "jurit malam"  diwajibkan menggunakan tongkat.  Namun, orang tua yang sudah kesulitan berjalan dihimbau untuk  menggunakan tongkat. Di pihak lain, tongkat juga dipakai oleh mereka yang suka berziarah. Tetapi ingatlah bahwa hidup itu sendiri adalah  suatu  peziarahan, "Karena iman, maka Yakub,  ketika hampir waktunya akan mati, memberkati kedua anak Yusuf,  lalu menyembah sambil bersandar pada kepala tongkatnya"  (Ibr 11: 21). Sampai hembusan nafas yang terakhir pun seorang musafir tua masih memiliki tongkat di tangannya. Menjelang akhir hidupnya, ia masih saja siap untuk berziarah. Jika kita benar-benar mau menghadapi tantangan hidup, kita harus mempertahankan pikiran yang senang menjelajah, "Mari kita siapkan tongkat!"

Senin, 22 Desember 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: