Senin, 08 Desember 2014

Wafat

WAFAT
(Kontemplasi Peradaban)
 
Dalam keranda hitam tubuhmu terbujur
Ada misteri yang tak pernah terungkap
Alis matamu tebal menyimpan rahasia
Adakah waktu akan mampu mengurai?
Kematian ini memisahkan kita,
Selamat jalan
 
(Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya yang berjudul, "Dua Menit ini Misteri")
Pastor Ronny Raditya Rotinsulu Pr  sudah  wafāt (Bhs. Arab yang berarti tutup usia). Perjalanan panjangnya dalam derita sakit sudah berakhir.  Memang benar ungkapan  yang dikatakan Horatius (65 – 8 seb. M) penulis sastra Romawi bahwa  "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kini ia sudah  almarhūm  (Bhs. Arab yang berarti sudah dirahmati oleh Tuhan). Maka pantaslah kita mengucapkan sebuah salam, "Ad vitam aeternam" – selamat memasuki hidup abadi.  Dan akhirnya kami yang masih berziarah di dunia ini,  hendak mengumandangkan sebuah lagu, "in paradisum deducant te angeli" – para malaikat mengantarmu ke firdaus.
Sering kali kita "protes" kepada Tuhan, "Mengapa orang yang masih muda dan masih dibutuhkan cepat-cepat Engkau panggil?"  Untuk menjawab pertanyaan itu kita pun sering mendengar ungkapan, "Virtuous people die at an early age, because the gods want those people to be with them in the afterlife."  Atau dalam pepatah Latin berbunyi, "Quem dii diligunt adulescens moritur" – yang disayang oleh para dewa, mati muda. Ungkapan tersebut ditulis oleh  Plautus ( 254 – 184 seb.M). Lantas, kita bertanya seperti  apa yang ditulis  oleh Soe Hok Gie (1942 – 1969)  dalam bukunya yang berjudul, "Catatan seorang Demonstran" yang berbunyi,  "Seorang filsuf  Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan yang kedua dilahirkan tapi mati muda."
Pastor Ronny tidak sendiri.  Banyak tokoh dunia yang umurnya pendek.  Wolter Monginsidi  wafat dalam usia: 24 tahun, RA Kartini: 25 tahun, Alexander Agung: 32 tahun, Van Gogh: 37 tahun, Martin Luther King: 39 tahun dan Che Guevara: 39 dan akhirnya Yesus Kristus : 33 tahun.  Di sini berlaku pepatah Latin seperti  apa yang dikatakan oleh Seneca (4 – 65 M) filsuf, negarawan dan dramawan Romawi, "Quam bene vivas non quam diu refert"  – yang penting bukan lama engkau hidup, tapi bagaimana engkau hidup dengan baik.
Menurut kesaksian sahabatnya yakni Pastor Steven Lalu Pr  (sedang study di Roma),  setiap kali ditanya oleh orang lain, Pastor Ronny selalu menjawab, "Sekarang sudah lebih baik!"  Sebuah kesaksian iman yang luar biasa. Menurut saya, Ronny telah memelihara iman, "Aku telah memelihara iman."  Memang,  memulai sesuatu itu mudah tetapi mengakhirinya tidaklah mudah. Seseseorang yang sangat  terkenal pernah mendapat saran untuk menulis  biografinya ketika ia masih hidup. Namun ia sama sekali menolaknya dengan alasan, "Aku  telah melihat banyak orang gagal di putaran terakhir."
Paulus berkata, "Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garus akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan" (2 Tim 4: 6 – 8).  Bahkan John Bunyan (1628 – 1688) dalam bukunya yang berjudul, "The Pilgrim's Progress"  menulis,  "Sebelum jalan menuju surga ternyata ada lorong turun ke neraka."
          "Mengenai diriku," kata Paulus, "Darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan." Kata Yunani untuk "persembahan" adalah  spendhesthai yang secara harfiah berarti menuangkan anggur sebagai persembahan untuk para dewa. Setiap kali orang Romawi makan selalu diakhiri dengan semacam korban. Secawan anggur diambil dan dituangkan (spendhesthai) bagi para dewa. Seolah-olah di sini Paulus  berkata, "Hari sudah berakhir, inilah waktunya untuk bangkit dan pergi; dan hidupku harus dituangkan sebagai kurban bagi Allah" (Willian Barclay dalam bukunya yang berjudul, "Memahami Alkitab Setiap hari – Surat 1 & 2 Timotius, Titus, Filemon"  hlm. 323).
Kita juga percaya bahwa mungkin selama masa sakitnya Pastor Ronny, memberi banyak kesaksian tentang hidupnya yang berani menghadapi kematian dan kehidupannya telah menjadi persembahan terbaik bagi Tuhan.  Kadang-kadang sejarah terulang secara aneh. William Tyndale (1494 – 1536) berada di penjara di Vilvoorde menunggu kematian karena ia berani menyebarkan Al-kitab kepada masyarakat dalam bahasa mereka. Saat itu adalah musim dingin yang lembab. Ia menulis surat kepada temannya, "Demi Yesus , kirimkan kepadaku topi hangat, sesuatu untuk menambal pembalut kakiku, baju wool dan di atas semua itu Alkitab Ibrani."  Tyndale berani menghadap Tuhan dengan "kelakar"
 Julius Caesar (100 – 44 seb.M)  pernah berkata,  "pengecut mati berkali-kali sebelum nafas penghabisan, pemberani mati hanya satu kali" dan pepatah Latin yang berbunyi, "Haud timet mortem qui vitam sperat – yang berharap hidup tidak akan takut mati, sebagai ucapan selamat jalan saya kepada Pastor Ronny Raditya Rotinsulu Pr  (28 April 1981 – 07 Desember 2014).

Senin, 08 Desember 2014  Markus Marlon   


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: