Minggu, 14 Desember 2014

Putih

PUTIH
(Kontemplasi  Peradaban)
                                                                  Putih indah berseri
Mekar harum mewangi
Melati suntingan hati
 
Kau lambang kesucian
Cinta yang abadi
Yang selalu kurindukan

       Sepenggal syair lagu lawas dengan judul, "melati putih"  besutan Bimbo  di atas, tersirat sebuah makna kesucian dalam  warna putih.  Memang, dalam psikologi warna, warna putih melambangkan kemurnian dan kepolosan, memberikan perlindungan, ketentraman, kenyamanan dan memudahkan refleksi.
          Bagaimana kita memandang warna putih sungguh amat istimewa dibandingkan dengan warna hitam yang memiliki konotasi yang – maaf – kurang elok, misalnya: black campaign , noda hitam atau  black pope –  paus hitam.  
          Jika kita menengok ke belakang yakni  berabad-abad yang lalu, hari gembira penuh sukacita itu  dinamakan hari putih. Plutarch (45 – 120) sejarawan, pembuat biografi dan esais,  menceriterakan bahwa Pericles (495 – 429 seb. M) negarawan, orator dan Jendral Athena,  ketika menyerbu Samos, sadar  bahwa penyerbuan itu akan berlangsung lama. Ia tidak ingin pasukannya keletihan dan bosa, maka dibagilah pasukannya menjadi delapan. Setiap hari kedelapan pasukan itu mengambil undian. Lantas, tatkala diundi dan pasukan yang mendapat biji putih itu  terbebas dari tugas hari itu dan mereka dapat menikmati hari itu sesuka hati mereka (William  Barclay, dalam bukunya yang berjudul, Kitab Wahyu 1- 5  hlm. 143).
Tidak heranlah, jika pengaruh warna putih itu tersebar ke mana-mana. White  (putih) itu berasal dari Inggris kuno, hwit yang berarti: bright, brilliant  dan radiant. Dalam  warna putih terkandung suatu keceriahan, sukacita dan sinar yang berkilau indah, "As he prayed, the aspect of his face was changed and his clothing become brilliant as lightning" – sementara Yesus berdoa di situ, muka-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilauan (Luk 9: 29).
          Para calon itu kadang nampaknya jujur dan polos. Mereka  disebut sebagai  candidate. Dan  candidate  itu sendiri berasal dari bahasa Latin, candĭdātus yang berarti berpakaian putih. Mereka berusaha memperoleh jabatan karena ia mengenakan  pakaian putih. Dan tentu saja dalam bersikap harus menunjukkan kejujuran. Para candidati  itu dalam bertindak pun bagaikan anak domba yang tulus,  "Seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya" (Yes 53: 7).
          Orang yang muram, sedih, murung-murung dan  berduka akan menjadi sempurna jika mengenakan  pakaian hitam. Kita, ketika melayat untuk melihat keranda hitam, tidak terbayangkan jika tidak mengenakan pakaian hitam. Sang Nabi Muhammad SAW melarang bagi masyarakat Arab dalam hadis-nya, "mencelupkan pakaian dengan warna merah karena itu termasuk ke dalam pakaian keindahan yang tidak cocok dengan suasana berkabung."  Namun, masyarakat China dan negara-negara Asia lainnya pun cenderung memilih warna putih sebagai warna berkabung. Perhatikanlah  film-film seperti: Red Cliff, The Three Kingdoms, Sun Tzu Art of War, yang ketika sedang berkabung menggunakan warna putih. Benar kata pepatah,  "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya."    
          Dalam pelbagai kebudayaan,  seperti Jawa (Kesultanan  Yogyakarta dan Kasuhunan Surakarta) warna putih memiliki simbol tersendiri. Kraton Surakarta menggunakan warna putih sebagai bentuk penolakan terhadap yang jahat, tidak baik dan merusak. Oleh karenanya warna putih sering menjadi warna sunan dan ksatria. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I  (1717 – 1792) di Yogyakarta  warna putih dijadikan warna dasar ageman (pakaian) para ksatria. Terutama pasukan Wirabraja mengenakan warna putih sebagai lambang keteguhan hati membela kebenaran.  Dari kebudayaan Jogjakarta dan Surakarta itu, muncullah seorang Satria yang juga Raja Pandawa yang bernama Puntadewa atau Yudistira.  Puntadewa dilukiskan sebagai raja yang memiliki  getih putih – darah putih. Ia tidak pernah berbohong dan berjiwa tulus. Darah putih akan melakukan segala hal tanpa pamrih, ikhlas dan tidak mengambil keuntungan untuk diri sendiri.  
          Setelah mengontemplasikan makna warna putih ini, sepertinya, ada kaitan antara suci dan putih. Sejenak  marilah kita senandungkan lagu, "Melati Suci" syair  Guruh Sukarno Putra. Konon lagu itu dipersembahkan untuk ibu Fatmawati, yang nama aslinya Fatimah (1923 – 1980):
Putih-putih melati
Mekar di taman sari
Semerbak wangi penjuru bumi.
 Suci-suci melati
Suntingan 'bu Pertiwi
Lambang nan luhur budi pekerti.
 
Saya menjadi ingat akan para pemimpin agama yang ketika menjadi  pontifex  yang bukan  maximus (pembuat jembatan  antara Tuhan dan Manusia) mengenakan  alba (Bhs. Latin, alba = pakaian putih), kecuali pendeta Buddha  yang mengenakan warna orange.  Tentu saja hatinya suci, murni, tulus  seperti jubah, toga, alba yang dipakainya.  Wallahu a'lam!  Dan Allah Mahatahu!

Senin, 15 Desember 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: