(M o t i v a s i)
Kebencian tidak pernah dipadamkan oleh kebencian. Hanya cinta kasih yang dapat memadamkan kebencian. Inilah Hukum yang abadi (Dhammapada: 3,4,5).
Ketika membaca novel tulisan Paulo Coelho (Lahir, 1947 di Rio de Janerio – Brasil) dengan judul, "Manuskrip yang ditemukan di Accra" saya terkesima dengan kata-kata singkat, "Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin yang menerpanya." Memaafkan orang yang pernah berbuat salah kepada kita, memang tidak mudah. Dan sepertinya tidak mungkin.
Ada baiknya kita "mengintip sejenak" orang-orang besar yang telah mencapai level memaafkan. Nelson Mandela (1918 – 2013) mengatakan bahwa memaafkan tidak akan mengubah masa lampau, tetapi memaafkan akan mengubah masa depan. Ia telah membuktikan dengan tidak membalas dendam tatkala harus mendekam di penjara selama 27 tahun. Ann Landers (1918 – 2002) – seorang columnist, berkata, "One of the secret of longevity and meaningful is to forgive any mistakes every person every night before going to bed" – Salah satu rahasia umur panjang dan bermakna adalah memaafkan kesalahan setiap orang setiap malam sebelum tidur.
Eknath Easwaran, penulis tentang meditasi dan kematian dalam bukunya yang berjudul, "Menyelami Misteri Kematian" menguraikan tentang pemberian maaf yang membuat hidup menjadi ringan. Ternyata kalau kita memaafkan, seluruh beban pun hilang. Tidak hanya beban kesalahan orang lain. Barangkali inilah arti memaafkan yang sesungguhnya. Fransiskus dari Asisi pun berkata, "Ketika memaafkan orang lain, sebenarnya kita sendiri juga dimaafkan." Kita – orang awam – tentu akan berkata, "Memaafkan itu tidak semudah membalik telapak tangan!" Inilah kata-kata pesimistis dan kedengarannya tidak mungkin. Tetapi Thérèsa dari Liseux (1873 – 1897), Mahatma Gandhi (1869 – 1948) dan tokoh lain telah memberikan kesaksian dengan rendah hati dan jujur. Seolah-olah – dalam kebisuan – mereka berkata, "Kami sudah melakukannya. Oleh karena itu, kalian juga bisa melakukannya."
Lain cerita! Di belahan dunia yan lain, ada tumbuhan yang berbunga ungu, namanya Natnitnole. Tumbuhan ini selalu tumbuh di sela-sela kerikil, terutama di jalan menuju rumah. Setiap pagi, di sekitar rumah tersebut selalu menyebar keharuman sehingga sang kerikil yang ada di sela-selanya bertanya kepada sang tumbuhan, "Mengapa engkau selalu tersenyum setiap pagi dan berharum ria?"
Bunga Natnitnole menjawab "Saya bersyukur setiap pagi, tuan rumah berjalan melalui jalan kita ini dan setiap pagi pula saya mengeluarkan bunga yang baru. Hal ini terjadi karena, setiap jejak kaki yang diinjakkan oleh sang empunya rumah telah meremukkan mahkota dan kerena itulah saya mengeluarkan aroma yang wangi (Buku tulisan Parlindungan Marpaung dengan judul "Setengah Isi-Setengah Kosong" hlm.182).
Ilustrasi singkat di atas hendak mengatakan kepada kita betapa luhur bunga Natnitnole itu. Meskipun diinjak-injak dan diperlakukan tidak adil, ia mampu memaafkan.
Jumat, 19 Desember 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar