TUKANG OMONG
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
Belum lama ini (Minggu, 06 April 2014) saya berjalan-jalan di Minahasa Tenggara (Mitra) dan ketika hendak kembali ke Manado, saya menyempatkan diri untuk singgah membeli buah salak di sebuah kios. Sejenak saya tertegun membaca tulisan pada dinding warung itu, "Jangan percaya kepada tukang omong." Dalam hati saya berkata, "Oh menjelang Pemilu biasanya banyak tukang omong."
John Bunyan (1628 – 1688) penulis buku legendaris, "The pilgrim's Progress" menceriterakan kepada kita mengenai makna talkative (tukang omong). Tulisnya, "Dia adalah orang suci di negeri asing dan iblis dalam rumah." Banyak orang berbicara dengan sopan kepada orang asing dan mengotbahkan kasih serta kelemahlembutan, tetapi membentak dengan rasa tak sabar dan jengkel dalam rumahnya sendiri. Kita tahu bahwa ada seseorang yang berbicara dengan sikap murah hati pada suatu pertemuan keagamaan, tetapi kemudian ke luar menghancurkan reputasi orang lain dengan lidahnya dengan rasa kebencian.
Bagi orang Jawa, "tukang omong" disebut sebagai mitro nggedebus atau kakehan cangkem. Kalau orang Manado menyebutnya sebagai mulut babusa atau mulut karlota. Memang, "tukang omong" tidak menduduki "tempat yang terhormat" dalam masyarakat.
Maka tidak mengherankan jika peribahasa, "tong kosong berbunyi nyaring" atau " Air beriak tanda tak dalam" sangat popular untuk menyudutkan si "tukang omong" yang kadang-kadang hanyalah omong kosong. Dan pada gilirannya, kebanyakan masyarakat memuji orang-orang yang diam, "Silent is golden!" Lantas kita bertanya, "Apakah sikap diam itu benar-benar emas?"
Kamis, 10 April 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Minggu, 13 April 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar