CAPEK DECH!!
(Serpihan-Serpihan Kisah Yang Tercecer)
Beberapa tahun yang lalu (± 1996-an), saya pernah menjadi pastor bantu – memang sih kalau salah ucap jadi pembantu pastor – (sekarang istilahnya lebih keren yakni pastor rekan) di sebuah paroki. Waktu itu saya didhapuk atau ketiban sampur untuk menangani Media Paroki. Tentu saja dengan semangat yang berkobar-kobar saya menerima tugas itu. Edisi pertama, luar biasa tanggapan dari kalangan umat. Mereka mengagumi Media yang berbentuk majalah bulanan itu. Ini yang membuat crew makin bersemangat. Crew ini juga makin kompak. Runtang-runtung kesana-kemari meliput kegiatan paroki.
Edisi kedua, ketiga masih semangat. Tetapi ketika memasuki edisi ke empat, pujian atas Media paroki mulai menghilang. Yang dulu dipandang sebagai hal luar biasa, kini menjadi hal yang biasa. Apalagi ketika saya berkunjung ke keluarga-keluarga, ternyata Media Paroki yang kami buat masih menumpuk di meja ruang tamu, bahkan belum dibuka plastiknya. Kami menjadi loyo!
Akhirnya crew mulai kadang muncul lagi di "Kantor Media Paroki." Deadline mulai tidak diindahkan dan terbitnya pun mulai tidak tepat waktu. Bahkan salah seorang crew berkata, "Masak kerja berbulan-bulan cuma kerja bhakti. Capek dech!!" Dugaan saya, paroki-paroki yang dulu pernah memiliki Media – barangkali – kini tinggal kenangan saja.
Memang benar kata pepatah, "Yang baru selalu indah dan menyenangkan," misalnya, mahasiswa baru, pengantin baru, karyawan yang baru diangkat menjadi pegawai tetap. "Nil novi sub sole" – tidak ada yang baru di bawah matahari, demikian kata pengkhotbah (Pkh 1: 9). Dan peristiwa-peristiwa semacam itu tentunya berulang dalam sejarah. Ketika Alexander The Great (235 – 323 seb. M ) raja Macedonia itu ingin menguasai dunia, setiap kali menduduki satu negeri ia disanjung dan dipuji (misalnya di kota Alexandria). Tetapi setelah beberapa bulan pujian mulai menghilang, Sang Penakluk akhirnya pergi lagi mencari koloni baru dan seterusnya. Selang beberapa tahunm dia mati bukan karena berperang namun karena kelelahan, "Capek dech!!" (Bdk. Cerita wayang dengan judul, "Pandawa Swarga"). Sejarah memang berulang, "L'histoire se répète"
Mengelola sebuah Media untuk zaman muthakhir memang gampang-gampang susah atau susah-susah gampang. Sang pengelola harus bermental baja. Awalnya suatu pekerjaan itu dilihat sebagai job, yang tentunya seperti tugas dan kewajiban. Kemudian, pekerjaan atau tugas menjadi suatu career yang tentu melaluinya orang dapat naik pangkat dan dipromosikan. Lantas, mengelola Media (apalagi – maaf – milik paroki, tarekat maupun Keuskupan) perlu didasarkan pada vocation atau calling (panggilan). Dari situlah seseorang yang mengelola Media akan merasa bahagia dan ada passion. Meskipun tidak ada yang memuji atau pun tidak ada yang membaca serta melihat YouTube yang dibuat, ia akan mengerjakan dengan suka cita dan penuh gairah, passion. Ia akan mengerjakan seperti apa yang pernah dikatakan Mother Teresa (1910 – 1997), "In this life, we cannot do great things. We can only do small things with great love."
Usul saya, ketika seseorang mengelola media seperti: bulletin, majalah bulanan atau media elektronik seperti: renungan harian, YouTube, film-film singkat perlu memiliki "hati yang lapang". Ia sudah layak dan sepantasnya rela untuk tidak dihargai dan ikhlas jika hasil karyanya ternyata tidak dibaca atau pun dilihat. Dengan mental seperti ini, maka kalau kita tidak dianggep, maka tidak akan muncul kata-kata, "Capek dech!!"
Jumat, 04 April 2014 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Senin, 07 April 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar