Kamis, 03 April 2014

Kebersamaan Yang Hilang

Kebersamaan yang hilang

Masyarakat kita makin lama, makin sakit. Komunikasi yang bermakna menjadi sulit ditemui. Padahal kebersamaan adalah sarana menikmati indahnya keluarga. Kini itu meluntur seiring hadirnya "permainan" dan sarana komunikasi baru yang canggih: ponsel, Blackberry, facebook, e-mail, twitter, televisi, dan sebagainya. Semua ini dapat menggoda kita meninggalkan wadah  komunikasi tradisional seperti main ular tangga atau ngobrol. Kita juga kehilangan suasana yang membuat ayah dan anak, suami dan istri bisa berkomunikasi, sembari minum teh hangat dan makan pisang goreng.

Tak ada yang salah dengan semua alat komunikasi tersebut. Bahkan terkadang kita amat membutuhkannya untuk mempercepat komunikasi. Yang bermasalah adalah cara, waktu dan sikap kita dalam menggunakannya.
Dari beberapa percakapan dengan klien dan teman, ada fenomena menarik. Di antaranya anak-anak merasa makin tidak didengarkan orangtua. "Mamaku nggak bisa lepas dari blackberry-nya," kata seorang anak usia 7 tahun kepada kami. "Mama itu kalau sudah BBM-an dengan Tante Santi.. wah, jangan diganggu, deh. Konsentrasinya bisa terganggu dan kita dapat marah besar!"

"Papaku lain lagi," celetuk Danny. "Kalau papa sudah ngobrol di webcam dengan Om Bobby ... aku sama Ita disuruh jauh-jauh. Kami tidak boleh bersuara. Kata papa, Om Bobby di Amerika itu teman bisnis papa. Kalau kami ribut, suara Om Bobby nggak kedengaran dengan baik. Padahal, papa kan sudah seharian kerja di kantor. Kami juga mau cerita-cerita dengan dia, seperti temanku Kevin dengan papanya. Tapi.. yah.. papaku sibuk terus.."

Tanpa sadar orangtua telah kehilangan kesempatan  asyiknya memandang wajah anak. Lebih enak memandang wajah politisi yang sedang membahas masalah negara di televisi atau menonton sinetron favorit. Beberapa anak mengeluh karena ayahnya sibuk sekali jika diminta main gelutan, petak umpet, bercanda atau cerita. Tentu ini hanya beberapa fenomena yang terekam di ruang konseling.

Relasi Orangtua-Anak

Bagaimana cara membangun hubungan harnomis antara orangtua dan anak sudah sangat banyak dibahas. Tulisan ini bermaksud menolong ayah dan ibu yang semasa menjadi anak merasa diabaikan orangtuanya juga. Akibatnya dia tidak punya pengalaman dan cara untuk membuat anak-anaknya nyaman di dekatnya. Ketrampilannya berkomunikasi dengan anak menjadi miskin. Sayangnya itu cenderung diadopsi juga oleh anak-anaknya. Demikian seterusnya.

Tidak ada lagi hal yang mudah jika segala suatunya sudah telanjur, termasuk memperbaiki relasi yang pernah dirusak oleh sakit hati dan pengabaian. Karena itu, sebelum pengalaman pahit ini berlanjut ke anak-cucu, orangtua perlu menetapkan hati: biar sampai di saya saja; jangan dialami lagi oleh anak-anakku.

Membuka Perasaan

Bagaimana memperbaiki perasaan yang pernah terluka oleh perlakuan orangtua?

Pertama kita perlu mengakui perasaan kita secara jujur. Jika di sekitar kita ada profesional helper (misalnya konselor), tentu sangat baik. Jika tidak, baiklah kita mengatakan sakit hati itu kepada Tuhan lewat self talk. Jangan dipendam atau dimanipulasi dengan mengatakan, "Sudah mengampuni" atau kata-kata semacamnya - padahal masih terasa sakit. Belajarlah mengungkapkan perasaan Anda dengan jujur.

Saat ini, tidak mudah menggali dan mengenali perasaan terdalam kita. Jika beberapa waktu lalu kita terbiasa mengirim pesan kepada anggota keluarga lewat catatan di pintu kulkas atau whiteboard, belakangan ini orang makin terbiasa berkomunikasi di dunia maya. Pesan diungkapkan dengan singkat lewat SMS atau BBM, tidak perlu bertemu, tidak perlu tatap muka. Tetapi ungkapan rasa dalam kata menjadi terbatas.

Memang dunia maya  mengajak kita menulis apa yang kita pikirkan dalam status di facebook, twitter, atau blackberry messenger. Tapi tanpa disadari kita komunikasi itu dangkal, tidak lebih dari sekedar katarsis. Agar mampu menggali perasaan terdalam kita perlu waktu untuk "berenang" di kedalaman hati kita.

Kedua, kita perlu memahami bahwa kesulitan kita berkomunikasi dengan anak-anak yang kita cintai bisa jadi disebabkan kita pun dulu kehilangan kesempatan mempelajari hal-hal ini dari ayah-ibu kita. Padahal, kehadiran orang yang mendengarkan kita akan membuat kita merasa berarti dan dihargai. Inilah yang diinginkan anak-anak kita dari orangtua mereka. Karena itu orangtua mesti waspada jangan sampai mengabaikan anak-anak.

Kekayaan Jiwa

Bagaimana cara kita memahami bahwa kita memiliki kekayaan ini? Indikasinya adalah munculnya gairah dan sukacita saat bersama. Komunikasi yang sehat menularkan optimisme dan harapan. Ada kesediaan mendengarkan aktif dan pandangan mata yang bermakna. Anak-anak merasakan bahwa papa-mamanya benar hadir dan peduli pada mereka. Mereka merasa aman, nyaman, dan berarti. Orangtua pun merasakan hal yang sama.

Kesukaan ini akan terbawa dalam pekerjaan dan pelayanan kita. Anda makin kreatif, produktif dan menjadi berkat. Tentu di akhir tahun yang baru lalu kita sudah melakukan evaluasi bersama. Apa yang kita temukan? Apakah anak dan pasangan kita merasakan indahnya kebersamaan di dalam keluarga? Jika tidak maka belum terlambat untuk mengambil tekad untuk kembali kepada keluarga kita. Kita perlu mengutamakan anak-anak dan pernikahan kita. Sebab Tuhan menyelamatkan kita di dalam dan melalui keluarga. Di sanalah anak-anak pertama-tama merasakan dan mengenal kasih Tuhan.

Julianto Simanjuntak
Penulis "Mencinta Hingga Terluka" (Gramedia)


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: