Saya dibesarkan Ayah yang keras dan kasar. Hubungan batin saya sungguh miskin dengan Ayah. Setelah menikah dan punya anak, saya merasa sulit membangun hubungan batin dengan anak kami. Terutama dengan anak kedua. Flavi namanya. Saat umur dua tahun, Flavi sering saya marahi, bentak dan cubit. Pencetusnya adalah dia tidak mendengarkan kalau saya memanggil nama-nya. Bayangkan, saya bisa 7 sampai 8 kali baru dia memberi respon, itupun dengan suara saya yang paling keras. Dia biasanya tetap asyik dengan mainannya, dan tidak memperhatikan suara saya. Karena itu saya spontan menjadi marah dan kasar.
Namun setelah 1,5 tahun berlangsung, saat umurnya menjelang 4 tahun kami merasa ada yang salah dengan telinganya. Kami mencoba mengkonsultasikan dengan profesor THT di Semarang. ahhhh benar. Ternyata dia bermasalah dengan telinga. Telinganya suka mengeluarkan cairan, lalu mengering dan menutup pendengarannya. Kami menobati selama 6 bulan dan Flavipun sembuh.
Pulang dari dokter THT itu saya menyesal setelah tahu bahwa Flavi bukan tidak mau mendengarkan, tapi tidak mampu mendengarkan. Namun saya gengsi untuk minta maaf kepada anak kami. Mendadak setelah dia sembuh, Flavi tidak mau dekat atau bermain dengan saya. Saya mau ajarkan dia naik sepeda, dia juga tidak mau. Perasaan saya terpukul dan sedih sekali.
Akhirnya saya mulai sadar, bahwa mungkin ini karena perbuatan saya yang kasar, suka membentak Flavi saat dia umur 2-4 tahun. Timbul keinginan untuk minta maaf, tapi sebagai Papa saya merasa gengsi banget.
Namun karena tidak tahan lihat sikapnya yang makin cuek, akhirnya saya memberanikan diri minta maaf. Saya mengajak Flavi makan di luar rumah berdua.
Saya mulai berkata:
"Flavi maafkan Papa ya Nak, waktu kamu dua tahun sering Papa bentak dan marah.."
Namun tidak ada reaksi dari si Bungsu kami. Sedih sekali rasanya, saya merasa saat itu seperti seorang terdakwa, merasa sedang dihukum secara batin oleh anak.
Minggu depannya saya mencoba ajak Flavi makan bersama dan meminta maaf padanya. "Flavi, kalau Papa bisa putar jarum jam (waktu), Papa tidak akan lakukan itu kepadamu.. Papa menyesal.. Maaf ya!"
Flavi tetap tidak memberi respon. Kami pulang dari makan bersama tanpa hasil.
Saya tidak menyerah. Saya berusaha mendapat maaf dari anak kami. Saya ajak ketiga kalinya bicara sambil makan. Saya memberanikan diri lagi untuk meminta maaf dan berkata:
"Flavi, Papa sungguh minta maaf untuk kelakuan Papa. Papa sadar minta maaf tidak cukup, kalau perlu hukumlah Papa Nak. Papa salah.. Papa sungguh-sungguh menyesal, Nak."
Pulang dari makan bersama itu, saya merasa ada perubahan pada anakku itu. Dia mulai bersahabat, mau mendekat, mau bercerita. Dia juga mulai mau diajar naik sepeda. Dia juga lebih ceria pergi ke sekolahnya di Taman Kanak-Kanak. Ahhh betapa bahagianya mendapatkan maaf dari anakku ini.
Saudara, kesukaan besar bagi seorang ayah adalah memiliki hubungan batin dengan anak. Bisa bermain, bercerita dan bercengkerama. Jika anda merasa melukai hati Anak Anda terutama saat mereka kecil, jangan tunda, minta maaflah segera.
Julianto Simanjuntak
Penulis "Mencinta Hingga Terluka" (Gramedia)
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar