(Perjumpaan-Perjumpaan dalam Perjalanan yang Meneguhkan)
Apa yang dibagikan di serayu-net (Selasa, 17 April 2012) oleh Ibu Rahel
dan ditanggapi oleh beberapa serayu-netters yang lain, mendorongku untuk
menuliskan sebuah pengalaman kehilangan. Pengalaman kehilangan yang akhirnya
dilihat sebagai pengalaman iman, karena telah "berjumpa dengan St. Antonius
Padua" seorang kudus dari Lisbon (Portugal).
Saya memiliki seorang teman yang trauma menggunakan komputer. Kujumpai dia
di ruang kerjanya yang menggunakan mesin ketik antik merek Siemag. Ia mulai
sharing, "Pada waktu itu tahun 90-an, saya mengetik di komputerku yang
baru. Saya menulis bahan seminar yang akan dipaparkan pada hari itu juga.
Setelah kira-kira 6 halaman, tiba-tiba listrik mati dan tulisan pun hilang
karena belum di-save. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku.
Pengalaman kehilangan ini merupakan pengalaman pahit, sehingga saya tidak
percaya lagi dengan barang yang namanya komputer." Dan dia terus memainkan
jari-jarinya di atas mesin ketik bututnya, "tik-tak-tik-tak."
Perjumpaanku dengan teman yang trauma dengan komputer tersebut saya
ceriterakan dalam mobil Innova warna krem. Kami bersama seorang teman
hendak mengadakan perjalanan ke Poso, sebuah kota yang masih menyisakan
kenangan pahit, yaitu puing-puing rumah yang hancur dan dibakar pada tahun
1998. Sesampai di kota Parigi – Kabupaten Parigi Moutong, teman
seperjalananku ketinggalan HP. Dia begitu panik dan dengan gemetaran dia
berkata, "Sungguh, HP itu adalah hidupku. Isi dari HP tersebut adalah
data-data yang amat berharga: nomor-nomor penting, nomor rekening, HUT para
sahabat dan masih banyak lagi. Karena dia ngomel-ngomel terus, akhirnya
driver harus balik ke Palu untuk mengambil HP tersebut. HP belum hilang
saja sudah ngomel-ngomel tidak karuan, apalagi kalau HP itu hilang.
Memang kehilangan barang bisa membuat sedih bahkan stres yang
berkepanjangan. Ada orang yang kehilangan barang yang amat disukai, maka dia
mulai berdoa kepada St. Antonius Padua (1195 – 1231), seorang kudus yang
"membantu" mengembalikan barang hilang, penolong dalam bahaya-bahaya
kemandulan, kelahiran, penyakit sampar. Kita juga pernah mendengar ada
seorang bapak yang bunuh diri, gara-gara kehilangan uang milyaran rupiah
yang diinvestasikan di Bank. Ia sedih sekali karena kehilangan harta
kekayaannya.
Saya juga pernah berjumpa dengan orang yang begitu ikhlas. Di desa kecil,
Playen – Gunungkidul – Yogyakarta, ada seorang bapak yang dikenal
sebagai Bapak "Ayub" Dwijowiyono. Bapak "Ayub" ini pernah berkata pada
suatu waktu, "Orang yang kehilangan harta bendanya, tidak kehilangan
apa-apa. Orang yang kehilangan nyawanya, telah kehilangan separuh dan orang
yang kehilangan kepercayaan, akan kehilangan seluruh hidupnya." Kata-kata
bijak itu mengajak kita untuk menjaga nama baik dan kepercayaan. Di tempat
lain, saya juga berjumpa dengan seseorang yang berkata, "Kehilangan benda
itu tidak perlu sedih-sedih amat sih, sebab suatu saat pasti akan didapat
kembali, bahkan lebih baik dari pada itu." Setelah mengalami kehilangan
benda-benda duniawi, bagaimana dengan kehilangan suasana seperti yang
dialami oleh bapak dalam perjumpaan berikut.
Perjumpaanku dengan seorang bapak di kota Makasar, tepatnya di Jl.
Lumadukelleng, mengingatkan kita bahwa anak-anak sungguh merupakan mutiara
yang tak ternilai harganya. Bapak itu bercerita demikian, "Saya menyesal
sekali telah kehilangan saat anak-anakku berbicara atau berjalan untuk
pertama kali. Setiap kali anakku lahir saya bekerja di luar pulau. Suasana
hati yang indah tidak ternilai harganya itu kini tidak saya dapatkan
kembali. Saya telah kehilangan anak-anakku menangis dan ngompol di
pangkuanku. Saya telah kehilangan kenangan indah bagaimana anak-anakku
nglendhot di badanku." Bapak ini tercenung sejenak, kemudian berkata lagi,
"Kini anak-anak sudah remaja dan dewasa. Mereka sudah sibuk dengan urusan
mereka sendiri-sendiri."
Pengalaman kehilangan bapak di atas dapat dipersandingkan dengan pengalaman
kehilangan seorang ibu yang kujumpai di Gramedia – Manado (Jl. Sam
Ratulangi). Malam itu ia resah dan gelisah mencari-cari buku Iliad of
Homer. Dia bolak-balik dari rak ke rak yang sama. Kemudian tiba-tiba dia
mengeluh, "Kemarin buku itu ada di rak ini dan saya mau beli tetapi saya
belum perlu sekali. Tetapi setelah saya ingin membacanya ternyata buku itu
sudah raib. Bagian servis mengatakan bahwa stock buku itu sudah habis!"
Kita bisa merenungkan bahwa ketika barang-barang itu ada di depan kita,
maka kita cenderung menyia-nyiakan, tetapi ketika barang itu tidak ada,
kita sangat kehilangan.
Masih dalam suasana Paskah di kota Palu (Kamis, 12 April 2012), kami
berenam (Rm. Herry Purasa, Rm. Novi Tuju, Rm. Felix Amias, Rm. Fanny
Manengkey dan Fr. Agus Maming serta saya) sedang nonton film Tutur
Tinular di channel Indosiar – Jam 21.00. Pada waktu itu, saya sedikit
terganggu dengan bau yang tidak sedap dan ngomel-ngomel. Kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Marlon, orang yang kehilangan saja
tenang-tenang saja dan ikhlas koq kamu yang menemukan ngomel-ngomel!"
Kemudian saya bertanya, "Kehilangan apa itu?" Jawabnya dengan tenang,
"Kentut!"
Skolastikat MSC, 18 April 2012
Biara Hati Kudus
Jl. Raya Pineleng KM. 9 PINELENG
Jaga IV – Kecamatan Pineleng
MANADO – 95361
Markus Marlon msc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar