Rabu, 11 April 2012

MANUSIA MATI MENINGGALKAN NAMA

MANUSIA MATI MENINGGALKAN NAMA
(Sebuah Coret-Coret tentang Pameo-Kata
Mutiara-Pepatah-Adagium-Semboyan-Peribahasa-Jargon-Ungkapan-Pitutur)

Ketika masih kecil, saya sering mengalami sendiri bagaimana seseorang
diganti namanya. Awalnya temanku ini bernama Suparto Jayabinangun Eko
Kusumo. Nama yang bagus dan indah. Namun entah karena apa, sahabat saya ini
sering jatuh sakit. Atas kesepakatan keluarga, dibuatlah jenang abang
putih, artinya jenang merah-putih dan digantilah nama tersebut menjadi
Slamet. Percaya-tidak percaya, setelah menyemat nama baru itu, ia menjadi
orang yang sehat walafiat. Peribahasa Jawa yang berbunyi, gugon tuhon yang
berarti: suatu tahayul yang dipercayai kebenarannya. Pepatah Latin menulis,
"Nomen est omen" yang artinya: nama adalah pertanda. Dalam sebuah nama
selalu terkandung sebuah harapan baik. Nama-nama seperti: Khrisna, Muhammad,
Gandhi, Maria, Bhisma dan masih banyak lagi, menjadi nama favorit. Tidak
mungkin terbayangkan, ada orang tua yang memberikan nama kepada anaknya,
seperti: Yudas atau Hitler atau Dursila maupun Durna. Namun kita pun heran
karena nama adik dari Caligula atau nama lengkapnya: Gaius Iulius Caesar
Germanicus Caligula (12 – 41 M) adalah Drusilla. Meskipun ia orang Romawi
namun kalau kita mendengar nama itu menjadi takut. Nomen ist omen.

Barangkali, apa yang tertulis di atas tadi akan ditolak habis-habisan oleh
Shakespeare (1564 – 1616). Ia melalui Romeo, pernah mengungkapkan, "What
is in a name?" yang secara filosofis kerap dipertanyakan mengenai apa arti
sebuah nama. Sri Sultan Hamengkubuwono X mengajarkan kepada rakyatnya di
Yogyakarta tentang makna sebuah nama. Ia berkata, "Kehilangan harta sama
saja tidak kehilangan apapun, kehilangan nyawa sama dengan kehilangan
separuh. Tapi kehilangan integritas dan harga diri adalah kehilangan
segalanya." Integritas dan harga diri ini adalah sebuah nama. Jika nama
seseorang itu sudah buruk, maka hilanglah masa depan seseorang. Tidak
mengherankan jika orang tua senantiasa wanti-wanti kepada anaknya ketika
hendak merantau, "Jaga nama baik ya nak!" Tambahnya lagi, "Di mana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung." Untuk menjaga nama baik, seseorang
haruslah "tahu adat" dan menghormati adat-istiadat di tempat orang itu
tinggal. Dan sebagai bhakti bagi nama baik orang tua, muncul peribahasa,
"Mikul dhuwur mendhem jero" yang berarti: memperlihatkan jasa orang tua
setinggi mungkin dan merahasiakan aibnya serapat mungkin.

Tidak ada monument untuk menghormati para pengritik. Memang kadang-kadang,
pengkritik itu dibutuhkan. Kritik-kritik yang dilotarkan bisa menjadi kaca
benggala bagi hidup seseorang untuk memperbaiki diri. Kritik-kritik inilah
yang disebut sebagai kritik yang membangun. Hanya pengritik yang omdo
(omong doang)-lah yang membuat sang pengritik sendiri bagaikan berkumur
dengan racun. Lama kelamaan ia akan sakit dan mati. Sebaliknya, monument
itu didirikan bagi orang yang berhati mulia dan memiliki nama yang harum.
Mereka adalah pribadi yang altruis. Hidup mereka dikorbankan bagi banyak
orang. Nama mereka diabadikan untuk Bandara-bandara, sekolah-sekolah,
nama-nama jalan dan nama-nama Rumah Sakit. Sebagian dari mereka adalah:
Pangeran Antasari (1809 – 1892), Si Singamangaradja (1849 – 1907), Sam
Ratulangi (1890 – 1949), Tjuk Njak Dhien ( 1850 – 1908), Martha Chistina
Tijahahu (1800 – 1818), Sultan Hassanudin (1631 – 1670) dan Pangeran
Diponegoro (1785 – 1855). Ralph Waldo Emerson (1802 – 1883) mengatakan
bahwa sosok pahlawan adalah individu biasa. Hanya mereka sanggup bertahan
sedikit lebih lama dalam situasi sulit.

Ya memang benar, "Manusia mati meninggalkan nama." Amal baik seseorang
selalu dikenang walaupun ia sudah tiada.

Skolastikat MSC, 21 Maret 2012
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 9
MANADO – 95361
Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: