(Sebuah Percikan Permenungan)
Charles Dickens (1812 – 1870) novelis Inggris dalam Great Expectations,
menceriterakan Pip kecil yang memberi roti yang sedang kelaparan kepada
tawanan, yaitu Magwitch yang divonis hukuman mati. Namun dalam perjalanan
hidup selanjutnya, Pip bertumbuh dewasa dan mendapatkan bantuan dari
donator yang tidak dikenal. Berkat dana yang jumlahnya tidak kecil itu, Pip
akhirnya menjadi orang yang sukses dan hidup dalam level papan atas.
Menjelang akhir hayatnya, Magwitch mengaku bahwa dialah orang yang memberi
dana kepada Pip, karena ketika dirinya susah, hanya Pip lah yang mau
menolongnya, meskipun hanya memberikan sepotong roti saja. Pemberian –
meskipun kecil – amat berguna bagi yang membutuhkannya. Bahkan ada ungkapan
yang mengatakan bahwa memberi sesuatu kepada orang lain tanpa menunda sama
dengan memberi dua kali. Bukan hanya yang menerima yang bahagia dengan
pemberian itu, tetapi juga yang memberi juga mengalami kebahagiaan, karena
bisa berbagi rezeki dengan yang lain.
Theresa dari Kalkuta (1910 – 1997) adalah pribadi yang suka memberi.
Sewaktu kecil, ia "belajar memberi" dari ibunya yang bernama Dranafile yang
dalam bahasa Albania berarti bunga mawar. Dwiyani Christy dalam Mother
Theresa – Melayani Yang Termiskin Dari Yang Miskin, melukiskan bahwa
keluarga Bojaxhiu kerap mengundang orang-orang yang miskin, terlantar dan
kekurangan. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi dasar yang kuat bagi
Theresa kecil untuk berkarya di kemudian hari. Mother Theresa pernah
berkata, "Saya amat terharu dengan orang-orang miskin di Kalkuta. Ketika
saya memberikan 1 kg beras kepada orang muslim, tidak lama kemudian orang
itu pergi ke tetangganya dan memberikan ½ kg berasnya kepada orang Hindhu."
Pengalaman Mother Theresa ini tentu saja bisa membuat bibir kita berdecak
kagum.
Kebanyakan orang enggan berbagi sesuatu kepada orang lain, karena
kepemilikannya pun akan berkurang. Tetapi lain dengan berbagi kebahagiaan,
maka kebahagiaan itu akan berlipat ganda. Hati yang bahagia karena sedang
mujur, sukses atau mendapatkan rezeki, perlu kita bagikan kepada orang lain.
Setiap budaya mengenal yang namanya upacara syukuran. Bersyukur atas
kebaikan Tuhan atas rezeki dan keselamatan keluarga. Pengalaman itulah yang
dalam upacara Budaya Minahasa terkenal dengan pengucapan. Orang mengadakan
pengucapan karena telah diberi banyak berkat dari Tuhan dan dari sana pula
berkat itu pun dibagi-bagikan. Yesus mengajar kita untuk berbagi berkat,
"Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti
itu dan memberikanya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya
membagi-bagikannya kepada orang banyak" (Mat 14: 19). Kisah nabi Elia
tentang si janda di Sarfat yang hanya memiliki segenggam tepung untuk
dirinya sendiri dan anaknya – karena musim kering. Pada awalnya, ketika si
janda diminta untuk memberikan sebagian makanannya, tetapi ada keraguan
dalam dirinya. Nabi Elia berkata, "Sebab beginilah firman Tuhan, Allah
Israel, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam
buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi
hujan ke atas muka bumi" (1 Raj. 17: 14).
Cami Walker dalam Keajaiban Memberi menerangkan bahwa dengan memberi sesuatu
kepada orang lain, ternyata akan memberikan pula kesehatan sang pemberi.
Memberi serupa dengan tindakan positif yang akan berdampak pada energi
kehidupan. Orang China mengenal istilah cincai. Orang yang mudah memberi
itu tidak terlalu perhitungan. Anehnya dan memang nyata, orang-orang yang
mudah memberi juga mudah mendapat. Dari sudut pandang Firman Tuhan ini
disebut hukum tabur tunai. "Dan setiap orang yang karena nama-Ku
meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa
atau ibunya, anak-anak atau ladangnya akan menerima kembali seratus kali
lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal" (Mat 19: 29). Sebaliknya orang
yang pelit dan terlalu banyak perhitungan baik dengan Tuhan maupun sesama,
maka berkat juga sulit turun untuk orang-orang seperti ini. William James
Sidis adalah seorang genius Amerika. Ia memiliki IQ tertinggi, melebihi
Leonardo da Vinci (1454 – 1519) dan John Suart Mill (1806 – 1873). Pada
usia 16 tahun dia sudah menjadi guru besar. Tetapi dia memiliki kehidupan
yang tragis. Pada usia muda ia meninggal dunia dan namanya hilang seturut
berjalannya waktu. Daya intelektualnya yang tinggi tidak dimanfaatkan untuk
kesejahteraan umat manusia. Ia pelit mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya.
Sebaliknya, para contributor pengetahuan kepada banyak orang akan menemukan
hidup yang penuh (fully human, fully alive), karena hidup mereka berguna
bagi banyak orang. Tetapi tidak jarang kita menemui orang yang pelit dan
"penuh perhitungan". Segala sesuatunya diperhitungan dengan uang. Di sanalah
muncul ungkapan, "mata duitan." Orang tersebut diminta untuk melayat
tetangganya, tetapi jawabnya adalah rugi waktu. Diminta untuk mengangkat
barang temannya tetapi dia berkata, "rugi tenaga". Di Gereja harus
mengeluarkan uang untuk kolekte, dia berkata, "rugi uang." Orang semacam ini
memiliki mental miskin. Meskipun dari segi materi, dirinya kecukupan, namun
tetap merasa kurang dan kurang. Lebih lagi, dia menerapkan prinsip, do ut
des yang artinya memberi supaya mendapatkan atau memberi dengan pamrih.
Jansen Sinamo dalam Korupsi dan Keluhuran memberikan ilustrasi bahwa alam
semesta itu memberikan kepada manusia sesuatu yang seimbang. Alam tidak
pernah korupsi. Ekektron, misalnya hanya bersedia menerima jatah energi yang
sudah ditetapkan alam baginya sebesar kelipatan bulat konstanta Planck
(Kompas, 4 Juni 2011). Alam bekerja dengan prinsip "secukupnya", tidak
berlebihan dan tidak berkekurangan. Mahatma Gandhi ( 1869 – 1948), pernah
mengatakan bahwa dunia ini memberikan rezeki yang berlebihan kepada semua
umat manusia yang bersyukur, namun tidak cukup bagi satu orang yang serakah.
Beberapa abad sebelum Mahatma Gandhi lahir, Horatius (,,,,,) pernah
berkata, "Semper avarus eget" yang artinya orang yang serakah selalu
menuntut. Alam semesta memberikan yang terbaik kepada umat manusia. Tetapi
eksploitasi alam semesta pada akhirnya mencelakakan penghuni planet itu
sendiri. Banjir dan global warming serta penggundulan hutan adalah
beberapa kejadian dari keserakahan umat manusia.
Pengalaman memberi memang sungguh indah. Belum lama ini saya berjalan-jalan
di Pantai Kalasey dengan seorang tamu dari luar kota. Sore hari itu saya
mengajak tamuku untuk melihat sunset. Ketika detik-detik, matahari akan
kembali ke peraduannya, tamu itu berkata kepada saya, "Sahabat, terima kasih
atas pemandangan indah yang engkau berikan kepada saya." Saya malu, karena
tidak memberikan sesuatu pun kepada tamuku itu, tetapi serentak menyetujui
bahwa saya telah "memberi sesuatu" kepada tamuku itu.
Skolastikat MSC, 9 Agustus 2011
Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361
Markus Marlon MSC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar