Jumat, 27 April 2012

BELAJAR

BELAJAR
(Sebuah Percikan Permenungan)

Adalah mustahil bagi kita, hidup tanpa "bersentuhan" dengan yang lain. Sejak
kita lahir, alam dan orang-orang di sekeliling telah menjadi "guru-guru"
yang luar biasa. Daniel Defoe (1659 – 1731), sastrawan Inggris menulis
novel yang sangat terkenal yakni Robinson Croesoe. Cerita tentang Robinson
Croesoe ini pernah digunakan untuk membuktikan bahwa manusia dapat hidup
sendirian. Pendapat ini mengabaikan bahwa Robinson Croesoe telah dididik
dalam suatu dunia budaya tertentu dan peralatan yang ia bawa adalah buatan
tangan manusia. Dengan berkomunikasi dengan orang lain dan alam, ia
dimampukan untuk menjadi pribadi pembelajar. Bahkan nabi Muhammad (570 –
632), pernah berkata supaya kita berani belajar sampai ke negeri Cina.
Sering pula kita mendengar bahwa kita belajar hingga masuk ke liang kubur,
long life education. Ini berarti bahwa kesempatan belajar itu tidak mengenal
umur dan tidak mengenal tempat.

Alam semesta yang luas membentang serta belum terselami itu yang
pertama-tama membuat decap kagum umat manusia. Kebudayaan Jawa memandang
alam semesta memiliki nilai yang luhur. Dari merekalah umat manusia belajar.
Manusia belajar pada alam. Ajaran itu dinamakan Asthabratha. Pardi Suratno
dalam Sang Pemimpin menguraikan dengan jeli dan detail makna
Asthabratha. Nilai-nilai Asthabratha itu disampaikan oleh tokoh bernama
Begawan Kesawasidi kepada Arjuna. Tetapi untuk mengetahui munculnya ajaran
Asthabratha, bisa dilihat dalam tradisi cerita Ramayana. Ajaran ini
diberikan oleh Rama kepada adiknya yang bernama Bharata supaya tetap menjadi
raja di Ngayodya. Rama kemudian memberikan wejangan berupa ajaran
kepemimpinan kepada Bharata sebagai bekal untuk memerintah. Setelah menerima
wejangan tersebut, Bharatha sedikit lega karena merasa telah mendapatkan
bekal ilmu tentang pemerintahan digambarkan bahwa seorang pemimpin itu
mengayomi yang berarti melindungi dari serangan musuh dan menjaga serta
memelihara rakyatnya. Astha berarti delapan dan bratha berarti tindakan.

Delapan tindakan itu diwujudkan dalam kepemimpinannya memiliki keutamaan
yang kesemuanya demi kesejahteraan rakyatnya. Pertama, Kadya Surya (serupa
matahari) artinya, menerangi, memberi kehangatan, menghidupkan dan
menumbuhkan. Kedua, Kadya Chandra (serupa rembulan) artinya, menciptakan
suasana teduh, damai, cinta, sabar dan indah. Ketiga, Kadya Kartika (serupa
bintang), artinya, memberi arah atau menjadi teladan. Keempat, Kadya
Samirana (serupa angin), artinya, tanpa menampakkan diri namun bisa mengisi
kekosongan, memberi nafas kehidupan dan memasuki lembah yang paling bawah
sekalipun. Kelima, Kadya Tirta (serupa air), artinya mengalir atau
berorientasi ke bawah, berpermukaan rata atau adil dan jujur, luwes dan bisa
menyesuaikan bentuk, bisa masuk ke celah yang paling kecil sekalipun dan
bersifat membersihkan. Keenam, Kadya Dahana (serupa api), artinya tegas dan
mampu menghanguskan siapa pun yang keliru tanpa pandang bulu. Ketujuh,
Kadya Samodra (serupa laut), artinya berwawasan luas dan berpikiran dalam,
bisa menampung masukan dari mana pun dan bersifat dinamis. Kedelapan,
Kadya Bantala (serupa bumi) artinya, menjadi tempat berpijak semua orang dan
menyediakan tempat hidup serta ruang gerak untuk semua orang. Seandainya
para pemimpin dalam melaksanakan tugasnya berpegang pada nilai-nilai
Asthabratha, tentulah rakyat akan mengalami kesejahteraan. Alam raya
menyediakan "pelajaran" yang luar biasa. Setelah belajar dari alam
semesta, kita bisa memaknai bagaimana belajar kepada orang-orang yang
sederhana.

Sidharta Gautama (563 SM – 483 SM) sebelum dan sesudah mendapatkan
pencerahan, buddha adalah pribadi yang suka belajar. Dalam film yang
berjudul, "The Life of The Buddha", Pangeran Sidharta memerhatikan dengan
sepenuh hati apa yang dilakukan petani yang sedang membajak sawah. Dari
pengamatan itulah, ia melakukan meditasi. Untuk mendapatkan pencerahan,
Sidharta Gautama belajar dari para guru. Ie Swe Ching dalam Sidharta
Gautama, melukiskan bagaimana pencarian Sidharta untuk mencapai pencerahan
begitu ketat dan keras. Sang guru berkata, "Di sini orang harus mampu
menahan berbagai penderitaan jasmani siang hari berjemur di bawah terik
matahari dan malam hari berendam di dalam air yang dingin." Sidharta sudah
melaksanakan apa yang dianjurkan oleh gurunya, namun belum juga menemukan
"pencerahan." Dalam peziarahannya, dia tidak pernah berhenti belajar.
Pandita Widyadharma dalam Riwayat Hidup Buddha Gotama mengisahkan bahwa
Sidharta belajar dari ronggeng. Gotama berkata dalam hati, "Sungguh aneh
keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti menerima
pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik
demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang
seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu
kendor." Melalui belajar dengan apa yang ia alami, Sidharta Gautama
mendapatkan pencerahan, enligment, buddha. Di sini sang Buddha bersikap
amat rendah hati. Ibaratnya ia belajar dari orang yang kecil. Orang Jawa
memiliki peribahasa, "Kebo nusu gudel" yang artinya kerbau yang adalah
induk mengisap susu dari anaknya. Sudah layak dan sepantasnya, jika
seseorang yang ingin mendapatkan pengetahuan tidak perlu malu jika harus
"berguru" kepada yang muda.

Dalam film yang berjudul, "The Story of Ruth" dengan sutradari Henry
Koster, di sana penceriteraannya lebih luas daripada yang tertulis dalam
Kitab Suci (Rut 1: 1 – 4: 22). Rut dilukiskan sebagai pendeta Chemos
belajar dari apa yang disembah oleh Mahlon, putra Naomi. Akhir dalam film
tersebut sungguh membuat iman kita semakin mantap dengan kata-kata,
"Aminadab memperanakkan Nahason, Nahason memperanakkan Salmon Salmon
memperanakkan Boas (suami Rut), Boas memperanakkan Obed, Obed memperanakkan
Isai dan Isai memperanakkan Daud (Rut 4: 20 – 22). Rut adalah wanita dari
suku bangsa Moab. Lebih aneh lagi, ada orang yang belajar dari
musuh-musuhnya. Sudah menjadi kelajiman bahwa kepala suku mencari musuh
untuk bertarung dengan orang-orang yang kuat. Musuh-musuh yang kuat dari
suku lain itu dianggap sebagai "guru". Ia belajar bagaimana berperang dan
jika musuhnya itu kalah dan mati, dia akan kembali ke rumah dan memberikan
nama bayinya yang baru lahir dengan nama tersebut.

Film berjudul Jengis Khan, yang mengisahkan tentang kelahiran hingga
kematiannya memperlihatkan bagaimana ayah Jengis Khan berperang melawan
kepala suku pemberani yang bernama Temujin. Sampai di rumah ia "membaptis"
putranya dengan nama Temujin dan nanti akan menjadi Jenghis Khan (1162 –
1227). Yesus pernah bersabda, "Pandanglah burung-burung di langit, yang
tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung,
namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi
burung-burung itu?" (Mat 6: 26) Rasa cemas, kuatir dan gelisah amat akrab
dengan kehidupan kita. Yesus mengajak kita untuk belajar dari kesederhanaan
satwa yang tidak diperhitungkan oleh manusia. Burung-burung pipit itu selalu
gembira, baik cuaca cerah maupun mendung. Beberapa abad sebelum Yesus
lahir, Aesop (620 – 560 seb.M) telah mengajari kita dengan belajar dari
kisah-kisah binatang, fable. Kisah-kisah seperti: Pertemuan sekelompok
tikus, Rubah dan anggur, Kera dan lumba-lumba, menyadarkan kita bahwa atas
salah satu cara tigkah laku kita itu menyerupai binatang. Ada rasa dengki
dan iri, serakah, angkuh, tidak mau kalah namun juga ada ketulusan dan
kerendahan hati. Dari sanalah kita belajar.

Tentang sikap belajar, kita harus melihat dari niatnya. Fasilitas yang
lengkap dan guru yang mantap jika sang murid tidak ada niat untuk belajar,
maka akan sia-sia. Dalam pewayangan lakon "Ekalaya", ada ksatria bernama
Ekalaya atau Palgunadi yang hendak berguru kepada Dorna. Namun berhubung
dirinya bukan putra bangsawan (keturunan bangsa Kuru), maka tidak memiliki
hak untuk menjadi muridnya. Terpaksa dengan niatnya yang tulus-murni ia
"belajar" dari luar pagar istana. Tidak tanggung-tanggung, dia membuat
patung Dorna dan ditaruh di padepokan-nya. "Guru Dorna" seolah-olah memberi
pelajaran kepada ksatria itu. Dan memang benar, keahlian memanah ksatria itu
sungguh luar biasa bahkan melebihi Arjuna, murid kesayangan Dorna. Sikap
hidup yang seperti ini adalah mereka yang belajar bukan untuk sekolah,
tetapi untuk hidup. Seneca (4 seb. M – 65), dramawan Romawi berkata, "Non
scholae sed vitae discimus." Apa yang dibuat oleh Ekalaya ini menyadarkan
kita bahwa penghayatan studi kita tidak boleh terpancang pada gelar. Gelar
akademik akhirnya hanya dilihat sebagai gengsi semata. Maka tidak
mengherankan jika orang beramai-ramai menjadi plagiat sebuah skripsi, tesis
maupun disertasi.

Akhir dari permenungan ini, saya ingat akan kata-kata Yesus sendiri,
"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari
pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapatkan
ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan (Mat
11: 28 – 30).

Skolastikat MSC, 19 September 2011
Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Tidak ada komentar: