Alkisah, seorang pemuda mendatangi orang tua bijak yang tinggal di sebuah
desa yang begitu damai. Setelah menyapa dengan santun, si pemuda
menyampaikan maksud dan tujuannya. "Saya menempuh perjalanan jauh ini untuk
menemukan cara membuat diri sendiri selalu bahagia, sekaligus membuat orang
lain selalu gembira."
Sambil tersenyum bijak, orang tua itu berkata, "Anak muda, orang seusiamu
punya keinginan begitu, sungguh tidak biasa. Baiklah, untuk memenuhi
keinginanmu, paman akan memberimu empat kalimat. Perhatikan baik-baik ya."
"Pertama, anggap dirimu sendiri seperti orang lain!" Kemudian, orang tua
itu bertanya, "Anak muda, apakah kamu mengerti kalimat pertama ini? Coba
pikir baik-baik dan beri tahu paman apa pengertianmu tentang hal ini."
Si pemuda menjawab, "Jika bisa menganggap diri saya seperti orang lain,
maka saat saya menderita, sakit dan sebagainya, dengan sendirinya perasaan
sakit itu akan jauh berkurang. Begitu juga sebaliknya, jika saya mengalami
kegembiraan yang luar biasa, dengan menganggap diri sendiri seperti orang
lain, maka kegembiraan tidak akan membuatku lupa diri. Apakah betul,
Paman?"
Dengan wajah senang, orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan
melanjutkan kata-katanya. "Kalimat kedua, anggap orang lain seperti dirimu
sendiri!"
Pemuda itu berkata, " Dengan menganggap orang lain seperti diri kita, maka
saat orang lain sedang tidak beruntung, kita bisa berempati, bahkan
mengulurkan tangan untuk membantu. Kita juga bisa menyadari akan kebutuhan
dan keinginan orang lain. Berjiwa besar serta penuh toleransi. Betul,
Paman?"
Dengan raut wajah makin cerah, orang tua itu kembali mengangguk-anggukkan
kepala. Ia berkata, "Lanjut ke kalimat ketiga. Perhatikan kalimat ini
baik-baik, anggap orang lain seperti mereka sendiri!"
Si anak muda kembali mengutarakan pendapatnya, "Kalimat ketiga ini
menunjukkan bahwa kita harus menghargai privasi orang lain, menjaga hak
asasi setiap manusia dengan sama dan sejajar. Sehingga, kita tidak perlu
saling menyerang wilayah dan menyakiti orang lain. Tidak saling mengganggu.
Setiap orang berhak menjadi dirinya sendiri. Bila terjadi ketidakcocokan
atau perbedaan pendapat, masing-masing bisa saling menghargai."
Kata orang tua itu, "Bagus, bagus sekali! Nah, kalimat keempat: anggap
dirimu sebagai dirimu sendiri! Paman telah menyelesaikan semua jawaban atas
pertanyaanmu. Kalimat yang terakhir memang sesuatu yang sepertinya tidak
biasa. Karena itu, renungkan baik-baik."
Pemuda itu tampak kebingungan. Katanya, "Paman, setelah memikirkan keempat
kalimat tadi, saya merasa ada ketidakcocokan, bahkan ada yang kontradiktif.
Bagaimana caranya saya bisa merangkum keempat kalimat tersebut menjadi
satu? Dan, perlu waktu berapa lama untuk mengerti semua kalimat Paman
sehingga aku bisa selalu gembira dan sekaligus bisa membuat orang lain juga
gembira?"
Spontan, orang tua itu menjawab, "Gampang. Renungkan dan gunakan waktumu
seumur hidup untuk belajar dan mengalaminya sendiri."
Begitulah, si pemuda melanjutkan kehidupannya dan akhirnya meninggal.
Sepeninggalnya, orang-orang sering menyebut namanya dan membicarakannya.
Dia mendapat julukan sebagai: "Orang bijak yang selalu gembira dan
senantiasa menularkan kegembiraannya kepada setiap orang yang dikenal."
Pembaca yang luar biasa,
Sebagai makhluk sosial, kita dituntut untuk belajar mencintai kehidupan dan
berinteraksi dengan manusia lain di muka bumi ini. Selama kita mampu
menempatkan diri, tahu dan mampu menghargai hak-hak orang lain, serta
mengerti keberadaan jati diri sendiri di setiap jenjang proses kehidupan,
maka kita akan menjadi manusia yang lentur. Dengan begitu, di mana pun kita
bergaul dengan manusia lain, akan selalu timbul kehangatan, kedamaian, dan
kegembiraan. Sehingga, kebahagiaan hidup akan muncul secara alami. luar
biasa!
-Andrie Wongso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar