Kamis, 09 Oktober 2014

Tua

TUA
(Kontemplasi  Peradaban)
          Membaca  millis dari Pastor Sujoko yang berjudul, "Sapaan Konfrater yang Lansia dan Sakit" (Kamis, 09 Oktober 2014) saya menjadi sadar bahwa saya juga akan tua dan sakit. Tak salahlah jika Marcus Terentius (116 – 27) sastrawan Romawi Kuno  berkata,  "Senectus ipsa est morbus" – menjadi tua itu sendiri adalah sebuah penyakit. Kemudian ada juga orang yang mengatakan bahwa "menjadi tua itu keniscayaan (kata "niscaya" itu dari bahasa Sansekerta artinya: tanpa pilihan) tetapi  menjadi dewasa itu suatu  pilihan!"  Dan – maaf – kadang-kadang  kita menjumpai ada orang tua yang kekanak-kanakan. Dan benarlah Pepatah Latin yang berbunyi  "Senes bis pueri" – orang yang sudah tua menjadi kanak-kanak untuk kedua kalinya.
          Sedikit demi sedikit dan tanpa kita sadari umur membuat kita tua. Lantas dalam hati saya bertanya,  "Dua  decade lagi, umur saya sudah 69 tahun dan Bruder  Matias yang tahun ini merayakan  -Pesta Perak Hidup Membiara-  dua dasa warsa lagi akan seperti apa dan Pastor Sujoko yang saat ini  powerful  kira-kira dua puluh tahun lagi apakah masih punya tenaga untuk mengajar dan menulis?"  Walahualam!  Barangkali kita perlu merenungkan tulisan sang Pemazmur, "Dies annorum nostrorum in ipsis septuaginta anni. Si autem in potentatibus octoginta anni, et amplius eorum labor et dolor" – Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan  jika kami kuat, delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan" (Mzm 90: 10).
          Marcus Tullius Cicero (106 – 43 seb.M) dalam bukunya yang berjudul, "De Senectute"  mengatakan,  "Senectus est natura loquacior" – dari kodratnya orang yang menjadi tua itu cerewet. Memang kebanyakan orang tua itu sudah banyak  "makan garam" – banyak pengalaman. Maka jika kita bertamu ke rumah mantan pejabat atau "penguasa"  kata-kata yang sering muncul adalah, "Dulu ketika saya sebagai…." Atau "Dulu ketika saya menjabat …."  Rupanya  Shakespeare (1564 – 1616)  sudah "melihat" sikap dan sifat dari  orang tua pada zamannya,  maka ditulislah drama yang berjudul  "King Lear". Dalam drama itu, Sang Raja menghendaki puji-pujian dari ketiga anaknya: Goneril, Regan dan Cordelia. Raja Lear adalah seorang tua yang tidak mau melepaskan kekuasaannya. Dan drama itu berakhir tragis. Ia mengalami  post-power syndrome.
Apa yang disebut  post-power syndrome ini terjadi karena seseorang memandang jabatan sedemikian tingginya, bahkan menjadi identitas diri. Orang lupa bahwa jabatan adalah sesaat dan kontraktual tak ubahnya baju. Pastor Sujoko menyitir  tulisan dari Pastor Anton Moningka, "Dalam tarekat MSC, kita semua mendapat tugas. Tugas kita bisa bermacam-macam jenisnya: di paroki, di bengkel, di kebun, di sekolah-sekolah atau sebagai: provinsial, ekonom, dosen dan lain-lain. Tugas yang sedang diemban  itu sifatnya tidak tetap. Kalau tugas-tugas tersebut dapat berubah-ubah (karena Surat Keputusan), lain dengan perutusan. Perutusan memiliki nilai yang tetap. Bahkan orang yang sudah tua dan barangkali sakit-sakitan masih memiliki "perutusan." Dan "kehadiran" itu sendiri dalam sebuah komunitas sudah merupakan perutusan."
Dua puluh tahun lagi, kita yang masih aktif dan semangat melayani mungkin sudah tidak memiliki SK lagi dan tinggal di biara. Kehidupan  "Wisma Orang Tua" tentu berbeda dengan "Rumah Karya". Di sini orang tua perlu "disiapkan" (Bdk. Buku yang berjudul, "Seni Untuk Menjadi Tua" – maaf buku itu sudah hilang).  Sharing dari buku itu ialah bahwa para orang tua tetap diajak untuk memberi makna setiap harinya. Sebaiknya dibentuk kelompok minat dan diajak untuk memelihara binatang yang hidup atau menanam tumbuh-tumbuhan. Quintus Horatius Flaccus (65 – 8 seb.M) penulis satir dari Romawi Kuno pernah menulis, "Non eadem est aetas, non mens" – umur itu tidak sama, tidak demikian dengan jiwa, maksudnya: meskipun umurnya berbeda  tetapi semangatnya sama.
Demosthenes (384 – 322 seb.M)  ahli pidato Yunani Kuno pernah berkata, "Aku menganggap orang yang menelantarkan orangtunya sebagai seorang yang tidak beriman dan dibenci oleh dewa-dewa." Lalu Philo dari Alexandria (20 seb.M – 50 M) ketika menulis hukum untuk menghormati orang tua berkata, "Ketika seekor burung tua sudah tidak dapat lagi terbang ia hanya tinggal di sarang dan diberi makan oleh anak-anaknya yang berusaha tak kenal lelah dalam memenuhi kebutuhannya karena mereka sangat berbakti" (William Barclay dalam bukunya yang berjudul  "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat 1 dan 2 Timotius, Titus, Filemon"  hlm. 167).  Dalam Al-Qur'an  surat Lukman ditulis bahwa perintah bersyukur kepada orang tua diletakkan sebaris dengan perintah bersyukur kepada Allah. Ini menunjukkan betapa Allah meminta pada semua hamba-Nya agar pandai berterima kasih serta mencintai orang tua. Maka tidak mengherankan jika, orang tua menjadi  "rebutan" untuk tinggal di rumah anak-anak dan secara bergiliran  serta anak-anak ingin mendampinginya.
Kita berharap sebagai lansia nanti berbahagia (Bdk. Millis  Pastor Sujoko yang berjudul,  "Lansia Bahagia" 10 Oktober 2014).  Tetapi sayang bahwa harapan kadang meleset. Saya pernah berkunjung pada sebuah biara yang ada orang tua maupun mereka yang masih muda-muda – tentunya masih aktif. Pada waktu itu saya dibuat kaget, ada orang tua yang duduk di kursi roda dibiarkan kepanasan di kebun. Lalu saya bertanya, "Apakah tidak ada yang menghibur orang tua itu. Kasihan!" Mereka menjawab, "Duh!  Waktu masih muda dan aktif,  beliau itu selalu "duduk" dalam dewan pimpinan, galaknya minta ampun bahkan tidak ada ampun. Beliau tidak merasa bahwa nanti suatu saat akan pensiun tua dan sakit!"
Saya diam seribu basa  dan bermenung, "Semoga dua puluh tahun lagi – kalau masih hidup – saya tidak menjadi orang tua seperti itu!"

Jumat, 10 Oktober  2014   Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: