(Kontemplasi Peradaban)
Beberapa tahun yang lalu (1988 – 1994), ketika saya sebagai skolastik dan Romo Budi sebagai superior, ia pernah berkata kepada saya, dalam bahasa Jawa yang kental, "Lon, urip iku ana watese" – Lon hidup itu ada batasnya. Kata-kata itu berbunyi merdu dalam hatiku hingga detik ini. Dan ia berkata lagi, "Ada batas untuk popular, ada batas waktu memiliki jabatan, ada batas untuk sehat dan ada batas umur. Semua ada yang atur dan kita hanya ngaloni saja!"
Selama Romo Budi dirawat di RS Geriyatri, saya beberapa kali diberi info perkembangan kesehatannya dan akhirnya Tuhan sendiri yang menjemputnya. Dan dalam waktu dekat, nama Romo Budi akan masuk dalam album necrologium (Buku Kematian). Lantas, saya pun berkata, "Pada suatu waktu, nama saya pun akan tertulis dalam album necrologium. Entah kapan!" Tiap orang ada batasnya. Terminus vitae – tonggak akhir kehidupan.
"Batas" sungguh memiliki makna yang mendalam. Saya masih ingat tanggal 9-9-99 ada isu kiamat. Menjelang tanggal tersebut wartel-wartel (warung tilpon – waktu itu HP belum popular), dipenuhi dengan anak-anak muda yang "mengaku dosanya" kepada orang tuanya. Kebanyakan mereka adalah pelajar yang menimba ilmu di luar kota. Sempat terdengar kata-kata, "Ma, minta maaf yah, selama ini saya tidak mau dengar mama. Ma, saya takut mati jauh dari keluarga!" Dengan adanya waktu yang terbatas, muncullah kualitas kata-kata yang indah untuk orang-orang yang dicintai. Bahkan waktu orang hendak mati, dirinya ingin dikelilingi oleh orang-orang tercinta. Pagi ini (Sabtu, 18 Oktober 2014) sebelum wafatnya, kelompok Legio Mariae dan koster dari Purwosari telah mendoakan "Doa Pembebasan" (Pukul 08.45) dan setelah selesai doa rasario, Amin. Romo Budi wafat (Pukul 09.00), "Consummatum est" – sudah selesai.
Jonathan Swift (1667 – 1745) dalam bukunya yang berjudul Gulliver's Travels melukiskan tentang negeri orang-orang Luggnaggi. Di negeri tersebut ada orang yang "ditakdirkan bebas dari bencana universal dan dari kodrat manusiawi," yakni kematian. Namun ketika akhirnya berjumpa dengan mereka, Gulliver sadar bahwa sesungguhnya mereka inilah makhluk-makhluk yang paling malang dan patut dikasihani. Mereka menjadi tua renta dan dungu. Di usia senja tubuh mereka mengidap berbagai penyakit dan mereka menumpuk rasa dendam dan keluh kesah serta mereka merasa sangat bosan menghadapi perjuangan hidup. Kita pun menjadi sadar bahwa batas usia menjadikan waktu yang singkat ini menjadi bermakna.
Dalam hidup ini memang kita berlomba dengan diri sendiri untuk mencapai garis finish atau garis batas seperti yang ditulis oleh Paulus, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2 Tim. 4: 7). Menanggapi tentang batas kehidupan, Horatius (65 – 8 seb.M) nama lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus menulis sebuah dictum bunyinya, "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kematian yang adalah batas hidup ini mendidik manusia untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya serta Tuhan. Berkaitan dengan ini, Seneca (4 – 65 M) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca menulis, "Quam bene vivas, non quam diu refert" – yang penting bukan lamanya engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan baik. Memang batas kehidupan sungguh misteri. Tidak seorang pun yang tahu sampai kapan ia sampai pada batas hidupnya. Dalam sebuah kisah, Sang Buddha (563 – 483 seb. M) bertanya kepada seorang gadis penenun tentang batas hidupnya, "Saya tahu, tetapi saya tidak tahu." Budda tersenyum dan mengetahui kebijaksanaannya. Seseorang bertanya kepada gadis tersebut, "Apa yang kamu maksud dengan kamu tahu, tetapi kamu tidak tahu?" Gadis itu pun menjawab bahwa dia tahu bahwa dia akan mati, tetapi tidak tahu kapan dia akan mati (Bdk. Ajahn Brahm dalam bukunya yang berjudul, Hidup Senang Mati Tenang , hlm. 169).
Tanggal 2 November beberapa tahun yang lalu saya berdoa di Kerkop (kuburan Eropa) Purworejo – Jawa Tengah. Di Pintu gerbang makam tersebut ada tulisan, "Homo, memento vivere, memento mori" – Hai manusia, ingatlah akan kehidupan dan ingatlah akan kematianmu. Kemudian saya duduk termangu di depan nisan yang bertuliskan, "Requiescat In Pace" – Rest In Peace – Beristirahatlah dalam Damai. RIP. Lalu, pikiran saya menerawang ke negeri antah-berantah yang memiliki orang-orang hebat yang sudah meninggal dunia, namun masih meninggalkan karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works. Di atas nisan Johann Sebastian Bach (1685 – 1750) masih ada symphoni yang belum selesai. Di atas makam Vincent Willem van Gogh (1853 – 1890), terdapat lukisan-lukisan yang belum purna. Di atas kuburan WS Rendra (1935 – 2009) nama lengkapnya: Willibordus Surendra Broto Rendra, masih terdapat puisi yang "bergentayangan."
Tentu saja kita berharap bahwa Romo Budi masih bisa berkarya di tengah-tengah kita, apalagi hidupnya sungguh-sungguh menjadi inspirasi bagi banyak orang dan masih banyak karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works. Tetapi kita yakin dan percaya bahwa seperti bacaan kemarin dalam Peringatan St. Ignatius dari Antiokia (Jumat, 17 Oktober 2014) kita menemukan bacaan yang bagus, "Jika benih gandum mati, ia akan menghasilkan banyak buah" (Bdk. Yoh 12: 24 – 26). Romo Budi, "Sugeng tindak" – selamat jalan!
*Kontemplasi Peradaban Edisi Khusus
Sabtu, 18 Oktober 2014 Markus Marlon
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar