Minggu, 19 Oktober 2014

Batas

BATAS*
(Kontemplasi Peradaban)
 
                Beberapa tahun yang lalu (1988 – 1994), ketika saya sebagai skolastik dan Romo Budi sebagai superior, ia pernah berkata kepada saya, dalam bahasa Jawa yang kental,  "Lon, urip iku ana watese" – Lon hidup itu ada batasnya. Kata-kata itu berbunyi merdu dalam hatiku hingga detik ini. Dan ia berkata lagi, "Ada batas untuk popular, ada batas waktu memiliki jabatan, ada batas untuk sehat dan ada batas umur. Semua ada yang atur dan kita hanya  ngaloni saja!"
 
          Selama Romo Budi dirawat di RS Geriyatri, saya beberapa kali  diberi info perkembangan kesehatannya dan akhirnya Tuhan sendiri yang menjemputnya. Dan dalam waktu dekat, nama Romo Budi akan masuk dalam  album necrologium  (Buku Kematian).  Lantas,  saya pun berkata, "Pada suatu waktu, nama saya pun akan tertulis dalam album necrologium. Entah kapan!" Tiap orang ada batasnya.  Terminus  vitae  – tonggak akhir kehidupan.  
          "Batas" sungguh memiliki makna yang mendalam. Saya masih ingat tanggal  9-9-99 ada isu kiamat. Menjelang tanggal tersebut  wartel-wartel  (warung tilpon – waktu itu HP belum  popular),  dipenuhi dengan anak-anak muda yang  "mengaku dosanya" kepada orang tuanya. Kebanyakan mereka adalah pelajar yang menimba ilmu di luar kota. Sempat terdengar kata-kata, "Ma,  minta maaf  yah,  selama ini saya tidak mau dengar  mama. Ma, saya takut mati jauh dari keluarga!"  Dengan adanya waktu yang terbatas, muncullah kualitas kata-kata yang indah untuk  orang-orang yang dicintai.  Bahkan waktu orang hendak mati, dirinya ingin dikelilingi oleh orang-orang tercinta.  Pagi ini (Sabtu, 18 Oktober 2014) sebelum wafatnya, kelompok Legio Mariae dan koster dari Purwosari telah mendoakan "Doa Pembebasan" (Pukul 08.45) dan setelah selesai doa rasario, Amin. Romo Budi wafat (Pukul  09.00), "Consummatum est" – sudah selesai.
          Jonathan  Swift (1667 – 1745) dalam bukunya yang berjudul   Gulliver's  Travels  melukiskan tentang negeri orang-orang Luggnaggi. Di negeri tersebut ada orang yang "ditakdirkan bebas dari bencana universal dan dari kodrat manusiawi,"  yakni kematian. Namun ketika akhirnya berjumpa dengan mereka, Gulliver sadar bahwa sesungguhnya mereka inilah makhluk-makhluk yang paling malang dan patut dikasihani. Mereka menjadi tua renta dan dungu. Di usia senja tubuh mereka mengidap berbagai penyakit dan  mereka menumpuk rasa dendam dan keluh kesah serta  mereka merasa sangat bosan menghadapi perjuangan hidup.  Kita pun menjadi sadar bahwa batas usia menjadikan waktu yang singkat ini menjadi bermakna.
          Dalam hidup ini memang kita berlomba dengan diri sendiri untuk  mencapai garis  finish  atau garis batas seperti yang ditulis oleh Paulus, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir  dan aku telah memelihara iman" (2 Tim. 4: 7). Menanggapi  tentang batas kehidupan, Horatius (65 – 8 seb.M) nama  lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus  menulis sebuah dictum  bunyinya, "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kematian yang adalah batas hidup ini mendidik manusia untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya serta Tuhan. Berkaitan dengan ini, Seneca (4 – 65 M) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca menulis, "Quam bene vivas, non quam diu refert" – yang penting bukan lamanya engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan baik.  Memang batas kehidupan sungguh misteri. Tidak seorang pun yang tahu sampai kapan ia sampai pada batas hidupnya. Dalam sebuah kisah, Sang Buddha (563 – 483 seb. M) bertanya kepada seorang gadis penenun tentang batas hidupnya, "Saya tahu, tetapi saya tidak tahu."  Budda tersenyum dan mengetahui kebijaksanaannya.  Seseorang bertanya kepada gadis tersebut, "Apa yang kamu maksud dengan kamu tahu, tetapi kamu tidak tahu?" Gadis itu pun menjawab bahwa dia tahu bahwa dia akan mati, tetapi tidak tahu kapan dia akan mati (Bdk. Ajahn Brahm dalam bukunya yang berjudul,  Hidup Senang Mati Tenang , hlm. 169).
          Tanggal 2 November  beberapa tahun yang lalu saya berdoa di Kerkop (kuburan Eropa) Purworejo – Jawa Tengah. Di Pintu gerbang makam tersebut ada tulisan, "Homo, memento vivere, memento mori" – Hai manusia, ingatlah akan kehidupan dan ingatlah akan kematianmu.  Kemudian saya duduk termangu di depan nisan yang bertuliskan, "Requiescat In Pace" – Rest  In Peace – Beristirahatlah dalam Damai. RIP. Lalu, pikiran saya  menerawang ke negeri antah-berantah  yang memiliki orang-orang hebat yang sudah  meninggal dunia,  namun masih meninggalkan  karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works.  Di atas nisan Johann Sebastian  Bach (1685 – 1750) masih ada  symphoni yang belum selesai. Di atas makam Vincent Willem van Gogh (1853 – 1890), terdapat lukisan-lukisan yang belum purna. Di atas kuburan WS Rendra  (1935 – 2009) nama lengkapnya: Willibordus Surendra Broto Rendra, masih terdapat puisi yang  "bergentayangan."
          Tentu saja kita berharap bahwa Romo Budi masih bisa berkarya di tengah-tengah kita, apalagi hidupnya sungguh-sungguh  menjadi inspirasi bagi banyak orang dan masih banyak  karya-karya yang belum terselesaikan,  unfinished works.  Tetapi kita yakin dan percaya bahwa seperti bacaan kemarin dalam Peringatan  St. Ignatius dari Antiokia (Jumat, 17 Oktober 2014) kita menemukan bacaan yang bagus, "Jika benih gandum mati, ia akan menghasilkan banyak buah" (Bdk. Yoh 12: 24 – 26).  Romo Budi, "Sugeng tindak" – selamat jalan!

*Kontemplasi Peradaban Edisi Khusus

Sabtu, 18 Oktober 2014  Markus  Marlon
 

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: